Minggu, 21 September 2008

SEJARAH BIROKRASI DI INDONESIA

Sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem politik yang berlangsung. Baik dalam sistem politik sentralistik maupun sistem politik yang demokratis sekalipun, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan politik pemerintah. Dengan kata lain, birokrasi menjadi sulit untuk melepaskan diri dari jaring-jaring kepentingan politik praktis. Birokrasi yang seharusnya merupakan institusi pelaksana kebijakan politik, bergeser perannya menjadi instrumen politik yang terlibat dalam praktik politik praktis. Corak birokrasi yang menjadi partisan dari kepentingan politik praktis tersebut menyebabkan ciri birokrasi modern yang digagas oleh Max Webber tentang rasionalisme birokrasi sulit untuk diwujudkan. Birokrasi bahkn telh mengubah dirinya bagaikan “monster raksasa” yang mengerikan sebagai perwujudan nyata dari kekuasaan negara .

Dalam membahas mengenai sejarah birokrasi di Indonesia, penulis membaginya ke dalam tiga konteks waktu, yakni birokrasi masa kerajaan, birokrasi masa kolonial, dan birokrasi pada masa orde baru.

Pertama adalah birokrasi masa kerajaan. Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuatan tunggal dan absolut. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus tunduk dan patuh pada kehendak sang raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (1) penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi; (2) administrasi adalah perluasan rumah tangga istananya; (3) tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;(4) “gaji” dari raja kepada pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugrah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja; dan (5) para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja.

Kedua adalah birokrasi masa kolonial. Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan administrasi pemerintahan yang berlaku di Indonesia. Sistem birokrasi pemerintahan yang dikembangkan pemerintah kolonial justru sepenuhnya ditujukan untuk mendukung semakin berkembangnya pola paternalistik yang telah menjiwai sistem birokrasi di era kerajaan. Pemerintah kolonial memiliki kebijakan untuk tidak begitu saja menghapus sistem ketatanegaraan yang telah ada sebelumnya. Sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah bumi Nusantara, baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial sepenuhnya menyadari bahwa keberadaannya tidak selalu aman. Pemerintah kolonial kemudian menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat. Motif utama pemerintah kolonial menjalin hubungan politik adalah dalam rangka berupaya menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan.

Yang terakhir adalah birokrasi masa Orde Baru. Berakhirnya masa pemerintahan kolonialisme di Indonesia membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan-perbedaan pandangan yang terjadi di antara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintah. Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi negara federal atau negara serikat berdasarkan konstitusi RIS pada tahun 1950 melahirkan kondisi dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis yang dihadapi aparat birokrasi saat itu. Pertama, bagaimana menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan Republik Indonesia, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada pemerintah Belanda yang memiliki keahlian tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap negara Republik Indonesia.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

judulnya harusnya pengaruh politik terhadap birokrasi,gan