Minggu, 21 September 2008

PERANAN TEKNOLOGI MEDIA DALAM PENYEBARAN PORNOGRAFI

Media massa memiliki kekuatan yang sangat dahsyat untuk mengkonstruksikan sebuah agenda setting yang oleh Mc Comb dan DL Shaw (1972) katakan apabila media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Kendati khalayak bukan “kotak kosong”, dalam arti khalayak dapat merespon sebuah agenda yang dibuat oleh media massa, namun pada kenyataannya bahwa media mampu mengkonstruksikan lebih banyak khalayak untuk percaya terhadap berita yang disiarkan oleh media.

Kekuatan-kekuatan konstruksi sosial media massa terhadap khalayak, sampai pada media mampu menciptakan sebuah realitas sosial yang oleh banyak ahli dinamakan relitas maya, serta mampu menghidupkan khalayak pada sebuah realitas yang dibangun berdasarkan kesadaran palsu (pseudo-reality). Jadi kekuatan konstruksi sosial media massa mampu melumpuhkan daya kritis khalayak, kemudian lebih banyak khalayak percaya bahwa media massa menjadi sumber otoritas.

Jadi persoalannya adalah ketika kemampuan media massa itu digunakan untuk mengkonstruksi erotisme, maka sudah dapat dibayangkan bahwa kekuatan konstruksi sosial media massa akan mampu membangun sebuah kesadaran palsu khalayak bahwa erotisme adalah sebuah kebenaran. Padahal sebenarnya dibalik kesadaran palsu itu, kemampuan media dengan berbagai kelebihan teknologi media termasuk juga adalah kelebihan ilmu perekayasaan media dan bahkan trik-trik kamera, telah menipu begitu banyak masyarakat untuk mempercayai kebenaran erotisme yang disajikan itu.

Kendati demikian, memberi penyadaran kepada masyarakat tentang bias media tersebut di atas, menjadi pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan, karena lepas dari kebohongan-kebohongan itu, khalayak telah percaya bahwa erotisme media mengandung banyak kebenaran, artinya ada obyek-obyek erotis tersebut yang mengandung kebenaran, sedangkan media merupakan alat memoles erotisme itu menjadi lebih indah, memiliki taste dan lebih berkesan. Karena itu layak erotisme media menjadi hiburan, penyalur libido, pelampiasan kebiasaan buruk, sampai pada hal-hal yang baik, yaitu pelepasan terhadap ekses-ekses buruk dari kekerasan seksual di masyarakat. Maka jadilah pornomedia sebagai wacana perdebatan yang sampai saat ini lebih banyak belum terjawab.

Sejalan dengan perdebatan mengenai pornomedia pada saat ini, berkembang tiga anggapan di masyarakat. Pertama menilai tayangan pornomedia tidak memberi inspirasi pada penontonnya untuk melakukan hubungan seks, namun cenderung memperkuat keinginan di dalam hati seseorang yang memang berniat melakukan hubungan seks. Kedua beranggapan bahwa pornomedia itu hanya berfungsi sebagai khatarsis (penyaluran emosi), artinya bahwa apabila ada dorongan seksual dalam diri seseorang begitu melihat tayangan pornomedia (juga mendengar dan membaca) di televisi atau film, maka akan tersalurkan keinginannya itu. Ketiga beranggapan bahwa pornomedia di televisi dan film sama sekali tidak berpengaruh buruk. Artinya banyak kasus menunjukkan bahwa pemirsa tidak meniru atau terpengaruh begitu saja tayangan-tayangan porno tersebut, akan tetapi peran lingkungan keluarga, latar belakang pendidikan dan agama sangat mempengaruhi seseorang. Sedangkan pornomedia yang ditonton di televisi, film dan media lainnya itu, hanyalah mempengaruhi mereka yang memiliki niat buruk dalam hatinya. Keempat, masyarakat menilai pornomedia adalah salah satu bentuk tayangan yang jelas-jelas dapat merusak moral masyarakat. Karena pornomedia mengeksploitasi perempuan, eksploitasi seksualitas untuk kepentingan kapitalis denagn mengorbankan moral masyarakat.

Salah satu model produksi media kapitalis yang dimaksud adalah selalu merefleksi dari realitas sosial yang sangat ekstrim di masyarakat. Ada tiga isu abadi dalam dunia jurnalisme kapitalis di Indonesia, yaitu harta, tahta dan wanita. Ketiga isu ini yang menjadi realitas sosial yang kemudian direkonstruksi secara bergantian menjadi realitas media, dan inilah substansi model produksi media massa kapitalis di Indonesia.

Dengan demikian dapat dimaklumi bahwa hal-hal yang berhubungan dengan wanita, seks, pornografi menjadi ladang eksplotasi pemberitaan media kapitalis, karena isu ini menjadi sangat menarik dan laku di masyarakat. Lepas dari itu, pendekatan agenda setting terhadap persoalan seksual ini seakan menjadi penting dalam masyarakat, padahal agenda media itu semata-mata untuk sekedar menjual pemberitaan dan mengangkat rating dan tiras media tersebut, dengan media menjadi ladang uang bagi sang penguasa kapital dalam jaringan media massa.

Berdasarkan anggapan-anggapan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa media massa baik elektronika maupun merupakan sebuah media yang efektif mendorong perubahan sikap seks di masyarkat. Yaitu semula masyarakat taat pada norma-norma perkawinan, kemudian secara bervariasi mulai meninggalkan norma-norma tersebut.

Mengutip dari apa yang pernah disampaikan oleh Alvin Toffler, bahwa selama abad industri, manajemen arus informasi antara lain menjadi perhatian utama, serta meta informasi menjadi kunci kendali di berbagai bidang. Revolusi informasi ini sangat erat kaitannya dengan demassifikasi ekonomi dan peningkatan diversifikasi masyarakat. Semakin terdiferensiasi ekonomi maka semakin banyak informasi yang dipertukarkan untuk mempertahankan integrasi sistem.

Setuju dengan yang dikatakan Toffler, bahwa pada saat ini peranan media massa sebagai media informasi dalam menyampaikan pesan-pesan perubahan masyarakat begitu sangat penting. Persoalannya bahwa yang dibawa oleh media massa, baik elektronik dan cetak, tidak saja bersifat positif namun juga negatif. Bahkan justru pesan-pesan positif kadangkala dimodifikasi menjadi negatif. Umpamanya saja konsultasi seks atau konsultasi masalah sosial lainnya yang menjasi rubrik-rubrik menarik di media massa. Seharusnya rubrik ini ditangkap secara positif oleh pembaca seperti diharapkan oleh pengasuh rubrik. Namun terbanyak rubrik tersebut digemari karena di sana banyak persoalan-persoalan seks yang dapat di-“nikmati”-nya, dari pada dijadikan pelajaran. Celakanya pada saat ini konsultasi-konsultasi semacam itu ada di hampir semua media massa kita, terutama media cetak yang notabene dapat dibaca berulang-ulang oleh pembaca dari berbagai kelompok umur, terutama pembaca yang berumur “rawan” untuk materi konsultasi tersebut.

Melihat banyak peminat tentang rubrik tersebut maka tak jarang pula para pengasuh rubrik lepas kontrol, sehingga pemilihan terhadap masalah yang boleh dimuat atau tidak dalam rubrik tersebut menjadi tidak selektif lagi, dengan kata lain “bebas sensor”. Lucunya rubrik itu menjadi tambahan menarik dan media massanya sendiri menjadi bertambah laris.

Media elektronik (visual) juga tidak sedikit peranannya dalam masalah ini. Dengan teknologi satelit, di mana masyarakat dapat menggunakannya untuk menerima berbagai siaran TV dari berbagai stasiun di dunia, maka kemungkinan peran media elektronika ini sangat besar sekali dalam menyampaikan pesan –pesan perubahan kepada masyarakat, termasuk di dalamnya adalah mengubah konsep seks normatif dan mendorong adanya pelecehan seks.

1 komentar:

Berusaha Untuk Bangkit mengatakan...

Bahasan ini sebenarnya uda lama...tapi tetep menarik..asyik Qi tapi karena waktunya kurang jadi gak sempat baca banyak