Minggu, 21 September 2008

PERMASALAHAN BIROKRASI DI INDONESIA

Birokrasi (negara dan pemerintah) tempat aparatur bekerja selalu diartikan dengan makna yang buruk, khususnya di Indonesia. Prinsip birokrasi yang diterapkan di Indonesia, seharusnya ideal dengan apa yang dicetuskan oleh Weber. Sebagai bangsa yang merdeka dan penuh optimisme, kita semua harus mencita-citakan terciptanya suatu birokrasi yang bersih dan berwibawa. Namun demikian, kita menghadapi masalah-masalah perihal birokrasi dan kebangsaan sebagaimana dikemukakan oleh Amien Rais.

Menurutnya, hampir semua negara berkembang menghadapi masalah nepotisme yang melekat dalam birokrasi, ini merupakan satu masalah besar dan rumit. Bahwa dalam dasawarsa setelah 1998 kita akan menghadapi lima persoalan besar dalam kerangka roda pemerintahan birokrasi, yaitu:

  1. Demokratisasi;

  2. Pembentukan pemerintah yang bersih / clean government;

  3. Penegakan keadilan sosial;

  4. Pembangunan SDM dan;

  5. Penguatan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Kelima masalah besar tersebut sangat ditentukan oleh sejauh mana pemerintah bersama dengan masyarakat menangani berbagai masalah tersebut. Adapun ujung tombak dari proses ini adalah peningkatan peranan pemerintah yang mulai menegakkan demokratisasi, pemerintahan yang bersih, menegakkan keadilan sosial, meningkatkan dan mengembangkan SDM, serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka optimalisasi dan revitalisasi birokrasi.

Jika kita berasumsi bahwa aparatur negara dan pemerintah menjadi ujung tombak dan pembaharu terhadap lima masalah pokok itu, kuncinya adalah, kita harus meningkatkan kualitas SDM aparatur kita, agar mampu melaksanakan tugasnya dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih (clean government). Namun salah satu persoalan yang kita hadapi adalah bahwa dalam tubuh pemerintahan kita pun belum bersih benar. Menurut Amien Rais, korupsi dalam artian yang luas masih tetap merajalela, bila bukannya semakin lepas kendali.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa dalam birokrasi kita sudah dicap korup dan bertele-tele. Bahkan kita sendiri sudah kerap mengalami kejadian yang kurang mengenakkan ketika harus berhadapan dengan aparatur birokrasi. Yang perlu ditekankan, adalah menjamurnya korupsi di tubuh birokrasi.

Terkait dengan ini, ada tiga jenis korupsi, yaitu korupsi ekstortif, manipulatif dan nepotistik. Korupsi ekstortif terjadi ketika seseorang, karena dorongan situasi, terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi (perlindungan) atas hak-hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha terpaksa memberikan sogokan (bribery) pada pejabat tertentu agar mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usahanya, dan celakanya lagi, perlindungan terhadap pelanggaran yang dilakukannya. Jumlah sogokan itu, tentu tergantung dari skala usaha penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah.

Korupsi manipulatif, yaitu usaha kotor yang dilakuakn seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Sebagai misal, seorang atau sekelompok konglomerat memberi sesuatu pada bupati agar peraturan-peraturan yang dibuat dapat menguntungkan mereka. Bahwa kemudian peraturan-peraturan yang keluar akan merugikan rakyat banyak, tentu bukan urusan koruptor-koruptor tersebut.

Korupsi nepotistik, adalah tindakan memberikan perlakuan yang istimewa pada anak-anak, isteri, keponakan, saudara dekat dari para birokrat (pejabat) dalam setiap eselon. Dengan preferential treatment itu pada anak, saudara, kerabat, dan seterusnya agar pejabat itu dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Korupsi nepotistik pada umumnya berjalan dengan melanggar aturan-aturan yang ada. Namun pelanggaran-pelanggaran itu tidak dapat dihentikan karena di belakang korupsi nepolistik itu berdiri seorang pejabat yang biasanya merasa kebal hukum.

Di samping tiga jenis korupsi itu masih ada jenis korupsi lagi yaitu, korupsi subversif. Ini merupakan bentuk pencurian terhadap kekayaan negara. Korupsi ini dilakukan oleh para pejabat. Dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan, mereka dapat membobol kekayaan negara yang seharusnya diselamatkan.

Semua jenis korupsi tersebut dalam berbagai derajat dan skala terdapat dalam praktek birokrasi pemerintahan mana pun, termasuk di Indonesia. Jika berbagai bentuk korupsi tersebut terus terjadi, hal ini akan semakin memperburuk citra birokrasi.

Namun kenyataannya fenomena korupsi, pungli, suap, dan sejenisnya sulit dihilangkan dari kultur birokrasi itu sendiri. Sehingga untuk menghilangkan atau setidaknya mempersempit ruang gerak para koruptor, setidaknya harus ada upaya evaluasi komprehensif dari pemerintah terkait dengan membangun kembali birokrasi yang lebih baik.

Adapula faktor lain yang terkait dengan buruknya kinerja birokrasi kita, yaitu ketiadaan upaya membangun komunikasi impersonalitas yang baik dalam organisasi. Suatu hubungan impersonalitas dalam organisasi akan efektif dan efisien manakala semua aparatur dalam setiap unit kerja, menjalin komunikasi yang baik dan terus berkelanjutan. Artinya, melaksanakan komunikasi antara dua orang pribadi atau lebih yang berbeda kepribadian, bahkan latar belakang budayanya. Manakala komunikasi demikian telah dilakukan, setiap aparatur negara telah melaksanakan tugas dan fungsinya, sekaligus menaati sumpah dan janjinya untuk tidak mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan di atas kepentingan umum.

Perilaku feodalistik dalam birokrasi yang dilestarikan oleh pemerintah kolonial ikut memberikan kontribusi besar terhadap penyebab munculnya patologi birokrasi, terutama tindak korupsi di dalam birokrasi. Suburnya budaya pemberian uang pelicin, uang semir, uang suap, uang damai, atau praktik budaya pelayanan tahu sama tahu, pada dasarnya merupakan bentuk korupsi yang terus dikembangkan oleh birokrasi dan masyarakat. Publik untuk memperoleh akses pelayanan secara mudah harus memberikan biaya ekstra kepada pejabat birokrasi, demikian pula untuk mendapat memenangkan perkara di pengadilan, seseorang harus menyuap jaksa dan hakim, atau seorang yang melanggar peraturan lalu lintas dengan mudah menyuap petugas kepolisian agar kasusnya tidak dibawa ke pengadilan. Substansi dari persoalan korupsi dalam birokrasi pada dasarnya merupakan bagian dari feodalisme yang terus dipelihara oleh sistem birokrasi. Seorang bawahan misalnya, untuk memperoleh perhatian, kedudukan, jabatan, dan kesan baik di mata pimpinannya akan berupaya untuk menyenangkan hati pimpinan dengan cara pemberian parsel, cinderamata, uang, dan segala sesuatu yang menjadi kesenangan pimpinannya.

Faktor kultural dalam masyarakat Indonesia pada umumnya cenderung kondusif yntuk mendorong terjadinya korupsi, seperti adanya nilai atau tradisi pemberian hadiah terhadap pejabat pemerintah.tindakan tersebut bagi masyarakat Eropa atau Amerika dianggap sebagai tindak korupsi, tetapi bagi masyarakat di Asia seperti di Indonesia, Korea Selatan, atau Thailand dianggap bukan merupakan tindak korupsi. Bahkan dalam kultur Jawa, pemberian tersebut dianggap sebagai bentuk pemenuhan kewajiban oleh bawahan kepada rajanya. Akar kultural pada masyarakat Indonesia yang nepotis juga telh memberikan dorongan bagi terjadinya tindak korupsi. Masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya sangat mementingkan ikatan keluarga dan kesetiaan parokial. Kewajiban utama seorang individu yang pertama adalah memerhatikan saudara terdekat, kemudian keluarga besar, satu keturunan, dan sesama etniknya. Seorng pejabat yang mendapat desakan dari saudaranya untuk memberikan dispensasi atau kemudahan akses pelayanan akan sangat sulit untuk menolaknya. Penolakan dapat diartikan sebagai pengingkaran terhadap kewajiban tradisional.

Sentralisme birokrasi telah membentuk pola pemerintahan yang bersifat hierarkis-birokratis sehingga terkesan sangat kaku dan menjadi tidak responsif terhadap tuntutan perkembangan dalam masyarakat. Birokrasi menjadi institusi yang seolah-olah tidak mampu mendengar dan melihat serta memperhatikan aspirasi masyarakat, bahkan terkesan mengabaikan kepentingan masyarakat. Birokrasi seolah-olah menjadi kekuatan besar, tanpa ada kekuatan lain yang mampu mengontrolnya. Sentralisme birokrasi telah menyebabkan birokrasi menempatkan publik berada di bawah, bukannya ditempatkan sebagai mitra bagi birokrasi yang terus dikembangkan keberadaannya dalam rangka pencapaian good governance dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sentralisme birokrasi telah menyebabkan birokrasi terjebak dalam pengembangan kultur organisasi yang lebih berorientasi vertikal daripada kultur horizontal yang lebih berorientasi pada kepentingan publik. Sentralisme dalam birokrasi telah menyebabkan terjadinya patologi dalam bentuk berbagai tindak penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan birokrasi. Patologi birokrasi muncul karena norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi lebih berorientasi ke atas, yaitu pada kepentingan politik kekuasaan, bukannya kepada publik. Berbagai kebijakan pembangunan pemerintah yang selalu ditentukan oleh pemerintah pusat menunjukkan kuatnya budaya sentralisme dalam birokrasi. Kondisi tersebut mengakibatkan birokrasi semakin kurang sensitif terhadap nilai, aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat. Birokrasi menjadi kurang fleksibel sehingga kebijakan yang diterapkan kurang responsif terhadap kondisi masyarakat daerah yang memiliki masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang bersifat spesifik.

Bentuk kekuasaan yang sentralistik menimbulkan adanya kultur birokrasi yang kaku dan berkembangnya fenomena suka atau tidak suka dalam birokrasi. Birokrasi tidak mampu mengembangkan sistem kerja fleksibel, bahkan birokrasi tidak mampu mengembangkan semangat kerja sama dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintah dan pelayanan publik. Koordinasi menjadi suatu kegiatan yang sangat sulit dilakukan birokrasi apabila kegiatan pelayanan publik yang dilakukan melibatkan lintas bidang, seksi, instansi, atau departemen. Lemahnya pembentukan semangat kerja sama dalam birokrasi menyebabkan seorang aparat birokrasi tidak dapat atau enggan mengerjakan pekerjaannya di luar tugas rutinnya. Apabila terdapat pegawai yang tidak masuk kerja karena berhalangan, pegawai lain tidak dapat menggantikannya sehingga kemacetan pelayanan seringkali terjadi. Dampak dari kondisi tersebut adalah masyarakat pengguna jasa pula yang pada akhirnya banyak dirugikan.

Tidak ada komentar: