Minggu, 21 September 2008

ANALISIS KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DALAM FILM CRASH

Setelah melihat film Crash, saya dapat melihat sebuah film yang menampilkan pola interaksi dari kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam film ini, ditampilkan beberapa kisah hidup manusia di kota New York yang merupakan kota yang penduduknya sangat multikultural. Kisah-kisah tersebut memiliki persamaan yakni berkisah tentang perang persepsi dan stereotip antara budaya satu dengan budaya lainnya.

Hal yang akan saya jelaskan terlebih dahulu di sini adalah menerangkan secara singkat apa yang dimaksud dengan persepsi dan stereotip. Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses itu mempengaruhi perilaku kita. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antar individu, maka semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi, dan sebagai konsekuensinya semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas.

Sementara itu, stereotip merupakan persepsi atau kepercayaan yang kita anut mengenai kelompok-kelompok atau individu-individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk. Kelompok disini mencakup kelompok ras, kelompok etnik, kaum tua, bentuk pekerjaan dan profesi, atau orang dengan penampilan fisik tertentu.

Disini saya akan mencoba menampilkan persoalan-persoalan yang terkait dengan interaksi yang terjadi antar dua kebudayaan dalam film Crash. Ada persepsi di kalangan penduduk Amerika bahwa masyarakat Arab merupakan teroris atau paling tidak masyarakat Islam fundamentalis. Terkadang ada rasa ketakutan berlebih jika warga Amerika Serikat bertemu dengan masyarakat Arab. Namun hal ini justru menjadi rumit ketika persepsi tadi dilakukan secara berlebihan. Seperti salah satu kisah di film ini bahwa masyarakat Amerika Serikat dengan tanpa perhitungan merusak sebuah toko yang diduga milik warga Arab dikarenakan pemilik toko tersebut memiliki wajah khas Arab meskipun yang sebenarnya pemilik toko tersebut adalah warga Persia yang notabene berbeda baik secara kultur maupun geografis dengan Arab.

Hal yang sama terjadi pada persepsi masyarakat Amerika Serikat berkulit putih terhadap warga kulit hitam. Mereka menganggap warga kulit hitam merupakan orang-orang kriminal, tak beretika, dan tak memiliki nilai dan norma. Ada rasa takut dalam diri warga kulit putih ketika mereka bertemu dengan warga kulit hitam. Terkadang juga, ada rasa cemburu dalam diri warga kulit putih ketika mereka melihat ada warga kulit hitam yang menduduki jabatan penting dalam masyarakat.

Dalam masyarakat di kota besar seperti New York, jumlah warga kulit putih lebih banyak dibandingkan dengan warga kulit hitam. Warga kulit hitam justru merasa bahwa merekalah yang seharusnya merasa takut dengan keadaan ini. Tidak jarang ada warga kulit putih yang melakukan pelecehan terhadap warga kulit hitam. Dalam film Crash terdapat contohnya. Ada adegan yang menampilkan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang petugas kepolisian yang berkulit putih terhadap warga kulit hitam. Warga kulit hitam tersebut tidak memiliki kekuatan untuk melawan karena mereka berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Juga seringkali pengaduan atau pendapat mereka tidak ditanggapi secara serius oleh lembaga-lembaga pengaduan seperti kepolisian. Hal ini mengakibatkan warga kulit hitam yang merasa dilecehkan oleh warga kulit putih menjadi enggan untuk melaporkannya. Dalam film Crash juga ditampilkan fenomena ini.

Ada juga stereotip di masyarakat Amerika Serikat khususnya bahwa orang Meksiko terkenal pemalas dan kurang ahli dalam segala hal. Masyarakat juga mempersepsikan orang-orang yang memiliki wajah latin sebagai orang Meksiko. Padahal belum tentu orang yang memiliki wajah latin adalah orang Meksiko. Dalam film Crash juga terjadi kesalahan ini. Seorang wanita yang memiliki wajah latin dianggap sebagai orang Meksiko disertai dengan embel-embel pemalas dan kurang telaten. Justru sebenarnya wanita itu merupakan campuran dari Puerto Rico dan El Salvador.

Stereotip yang muncul dari penampilan juga terdapat dalam masyarakat. Ada masyarakat yang menganggap seseorang yang berpenampilan kepala plontos, menggunakan kaos kutang, bertato, serta memiliki wajah sedikit latin adalah seorang residivis atau paling tidak seorang kriminal. Rasa takut terkadang muncul ketika seseorang harus berhadapan dengan orang-orang yang memiliki penampilan seperti ini. Padahal belum tentu orang yang seperti ini memiliki perangai seperti itu. Atau bisa juga kemungkinan orang seperti ini ingin keluar dari dunia hitamnya dan menggapai hidup baru di masyarakat. Seperti yang ditampilkan dalam film Crash. Stereotip yang dipakai seorang wanita terhadap seorang tukang kunci yang memiliki penampilan yang sudah digambarkan diatas menimbulkan rasa takut pada diri wanita itu. Padahal sebenarnya tukang kunci tersebut berusaha keluar dari dunianya yang dulu yang penuh kriminal dan berusaha hidup dalam dunia baru yang jauh dari dunia kriminal dengan menjadi tukang kunci.

Ada juga stereotip yang diberikan kepada seorang pembantu rumah tangga. Seorang pembantu rumah tangga dianggap hanya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga tanpa memiliki kepandaian selain di bidang itu. Suatu hal yang dianggap biasa apabila seseorang memarahi seorang pembantu rumah tangga atau sekedar membentaknya. Ada jurang yang terpisah lebar antara seorang majikan dan pembantunya. Dalam film Crash hal ini juga ditampilkan. Bagaimana seorang wanita menganggap remeh pembantunya dengan selalu merasa kurang puas atas pekerjaan pembantunya. Walaupun pembantunya tersebut sudah menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik, selalu saja sang majikan mencari-cari kesalahan pembantunya itu.

Stereotip terhadap masyarakat Asia juga ditampilkan dalam film ini. Masyarakat Amerika khususnya masih menganggap masyarakat Asia sebagai bangsa asing yang sangat jauh berbeda kultur maupun bahasa dengan kebudayaan mereka. Mereka menganggap masyarakat Asia terutama warga Cina hanya memiliki kemampun dan keahlian dalam hal masak-memasak. Diluar itu mereka hampir dianggap tidak memiliki kemampuan apa-apa termasuk tidak mampu memakai bahasa Inggris.

Dari persoalan-persoalan yang muncul diatas, maka saya bisa menarik kesimpulan. Permasalahan akan muncul ketika dalam melakukan komunikasi lintas budaya antara seorang individu dengan individu lainnya masih tertanam stereotip-stereotip atau persepsi yang belum tentu benar. Jika individu satu yang memiliki sebuah kebudayaan melakukan proses komunikasi dengan individu lainnya yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan menggunakan stereotip-stereotip dan persepsi tadi maka segala reaksi yang diberikan akan dibatasi oleh pagar-pagar stereotip tersebut.

Dapat dilihat bahwa komunikasi lintas budaya memiliki nilai penting. Dalam komunikasi lintas budaya, persepsi dan stereotip memegang peranan yang sangat penting. Persepsi dan stereotip yang dilabeli kepada seseorang yang berasal dari budaya tertentu mempengaruhi sikap dan perilaku komunikasi kita terhadap orang tersebut. Persepsi dan stereotip yang diberikan kepada seseorang yang berasal dari kebudayaan yang berbeda dengan kita seringkali tidak sesuai dengan realita yang sebenarnya.

Untuk mencapai sebuah komunikasi efektif dalam komunikasi lintas budaya, sebisa mungkin kita mengesampingkan stereotip-stereotip yang ada pada seseorang dari budaya lain. Hal ini dikarenakan pada umumnya stereotip yang sudah ada bersifat negatif. Tentu saja akan menjadi permasalahan yang besar apabila kita masih terpaku pada stereotip-stereotip tersebut dalam berkomunikasi dengan orang-orang dari budaya lain.

Tidak ada komentar: