Minggu, 21 September 2008

PERANAN MEDIA IKLAN DALAM MEMBENTUK CITRA WANITA

Dewasa ini perkembangan media di Indonesia cukup pesat. Berbagai macam produk media diantaranya iklan, ditampilkan dengan kemasan yang sekreatif mungkin yang senantiasa dapat menarik dan merebut perhatian masyarakat terutama kaum wanita. Iklan merupakan cara yang efektif bagi media untuk mempengaruhi khalayak terutama wanita. Iklan yang paling banyak mempengaruhi kaum wanita adalah produk-produk kecantikan, mulai dari alat-alat kosmetik hingga produk yang menurut media dapat menjadikan tubuh wanita langsing dan seksi.

Perempuan merupakan makhluk Tuhan yang diciptakan dengan beragam keindahan yang dianugerahkan pada dirinya. Sebagian dari perempuan sadar akan hal ini. Secara kodrati, setiap perempuan selalu ingin tampil cantik, seksi dan menjadi pusat perhatian. Keinginan ini dibaca oleh media dan dalam hal ini media memanfaatkannya untuk membangun sebuah persepsi tentang pengertian cantik dan seksi bagi seorang perempuan. Iklan dianggap sangat tepat untuk mengubah konstruksi cantik dan seksi bagi perempuan. Iklan lebih banyak membidik sasarannya pada kaum perempuan karena perempuan dianggap sebagai makhluk yang senang dengan hal – hal yang berhubungan dengan masalah kecantikan.

Dengan maraknya perkembangan media di dalam masyarakat, maka dengan sendirinya peranan wanita di dalam masyarakat menjadi berubah. Wanita yang pada umum sebelumnya hanya berkerja sebagai ibu rumah tangga yang sehari-harinya bekerja di rumah untuk mengurus rumah tangga dan anak-anaknya, kini dengan maraknya pengaruh media yang menggambarkan seorang wanita yang “sempurna” sehingga membuat kaum wanita merasa mempunyai kesempatan untuk mengubah diri menjadi sosok wanita idaman seperti yang ditayangkan oleh media. Dengan begitu, maka peranan wanita yang selama ini melekat dalam diri kaum wanita, lama kelamaan terkikis oleh wanita idaman ciptaan media tadi.

Keindahan perempuan dan kekaguman laki-laki terhadap permpuan adalah cerita klasik dalam sejarah umat manusia. Dua hal itu pulalah yang menjadi dominan dalam inspirasi banyak pekeja seni dari masa ke masa. Namun ketika perempuan menjadi simbol dalam seni-seni komersial, maka kekaguman-kekaguman terhadap kaum hawa tersebut menjadi sangat diskriminatif, tendensius, dan bahkan menjadi subordinasi dari simbol-simbol kekuatan laki-laki. Bahkan terkadang mengesankan perempuan menjadi simbol-simbol kelas sosial dan kehadirannya dalam kelas tersebut hanya karna kerelaan yang dibutuhkan laki-laki.

Eksploitasi perempuan dalam pencitraan media massa tidak saja karena kerelaan perempuan, namun juga karena kebutuhan kelas sosial itu sendiri. Sayangnya kehadiran perempuan dalam kelas sosial itu masih menjadi bagian dari refleksi realitas sosial masyarakatnya bahwa perempuan selalu menjadi subordinat kebudayaan laki-laki. Karenanya, tetap saja perempuan di media massa adalah “perempuannya lelaki” dalam realitas sosialnya. Namun dalam konteks perempuan, terkadang perempuan tampil dalam bentuk yang lebih keras dan keluar dari stereotip perempuan sebagai sosok lembut dan tak berdaya. Perempuan juga sering tampil sebagai perayu, penindas, dan bahkan sebagai pecundang. Sosok perempuan ini banyak ditemukan dalam iklan media, sekaligus merupakan rekonstruksi terhadap realitas dunia perempuan itu sendiri. Dalam kehidupan sosial, pada hubungan perempuan dan laki-laki, posisi perempuan selalu ditempatkan pada posisi, “orang belakang”, “subordinasi”, perempuan selalu yang kalah, namun sebagai “pemuas” pria dan pelengkap dunia laki-laki. Hal-hal inilah yang direkonstruksi dalam media massa melalui iklan-iklan komersial, bahwa media massa hanya merekonstruksi apa yang ada disekitarnya, sehingga media massa juga disebut sebagai refleksi dunia nyata dan alam sekitarnya.

Media menggambarkan perempuan “seutuhnya” dalam iklan, yakni perempuan yang cantik dan seksi. Selama ini, iklan telah berhasil menciptakan pengertian cantik dan seksi menurut konteksnya dan mengaburkan pengertian cantik dan seksi yang ada dalam dunia “nyata”. Dengan ideologinya masing – masing iklan berlomba-lomba mempengaruhi masyarakat. Beragam pengertian cantik dan seksi bagi seorang perempuan yang telah diciptakan oleh iklan. Ada beberapa iklan yang menamankan ideologi cantik dan seksi itu adalah kulit putih dan mulus. Tapi saat ini, cantik dan seksi tidak semata – mata berartikulasi dengan kulit putih. Sementara itu ada iklan yang mempresentasikan perempuan cantik dan seksi itu harus memiliki tubuh ramping dan memiliki rambut yang hitam lurus. Iklan telah mampu merecoki pikiran masyarakat tertutama perempuan. Banyak dari kaum wanita yang telah terpengaruhi dan ingin menjadi seperti apa yang disajikan oleh media melalui iklan.

Iklan berusaha mengaburkan konteks cantik bagi perempuan di Indonesia. Pengertian cantik dan seksi yang disuguhkan dalam iklan merupakan pengaruh dari negara-negra barat. Cantik dan seksi yang ada dalam benak mayarakat sekarang adalah budaya cantik yang diciptakan oleh pihak – pihak yang memiliki ideology dari kelas yang berkuasa dalam masyarakat.

Pihak – pihak yang berkuasa ini berusaha untuk memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari suatu budaya yang dijadikan trend dalam suatu masyarakat. Jika diperhatikan lebih jauh, banyak iklan produk –produk kecantikan yang merubah positioning-nya. Misalnya Dove yang dulu berkonsentrasi dengan sabun kecantikannya , sekarang telah beralih pada shampoo untuk membuat rambut lebih halus dan rapi. Iklan Pond’s yang dulu hanya merupakan produk pemutih sekarang telah menguasai pasar lebih luas lagi dengan produk anti jerawatnya. Hal ini dilakukan karena banyaknya persaingan dan melihat besarnya peluang. Karena untuk saat ini dalam pikiran perempuan hal yang menjadi prioritas utamanya adalah ingin tampil cantik dan seksi dengan menggunakan berbagi macam produk-produk kecantikan yang disebabkan oleh beragamnya pengertian cantik dan seksi yang telah berhasil dibangun oleh media melalui iklan. Pengalaman kita yang terbagi oleh banyaknya sumber dari iklan ini, membuat kita percaya akan arti cantik dan seksi yang diberikan oleh iklan dan hal ini terlihat nyata.

Banyak pemerhati masalah tubuh ini sepakat bahwa citra ideal perempuan adalah bertubuh seksi dan enak dipandang mata dengan munculnya industri media dan periklanan. Media massa, banyak memunculkan figur-figur langsing dan seksi seperti Nadia Hutagalung di Indonesia, dan mungkin diluar negeri sepeti Demi Moore. Entah proses apa yang mengawali terpilihnya figur-figur langsing dan seksi ini untuk tampil ke muka. Seorang artis bernama Twiggy tahun 60an yang bertolak belakang dengan citra perempuan yang subur. Ia tidak punya buah dada, ceking, dan memotong pendek rambutnya seperti laki-laki . Ia terlalu kurus untuk ukuran perempuan normal dengan berat hanya 41 kg, seukuran dengan gadis usia belasan tahun. Twiggy mampu mengubah citra bentuk tubuh perempuan. Dan perempuan di berbagai belahan dunia yang terhubung dengan industri media telah menjadikannya idealisasi akan suatu bentuk tubuh perempuan.

Pencitraan ini bukannya tanpa akibat. Justru akibat yang ditimbulkannya menyelinap dahsyat ke benak banyak perempuan. Diet kini telah menjadi agama baru bagi perempuan yang ingin tampil ideal, dan seksi. Sejak itu pula industri produk diet berlomba-lomba menawarkan produknya dengan target pasar yang cukup besar yakni wanita gemuk. Industri produk diet berkembang pesat dan nyaris tidak menghasilkan tubuh-tubuh yang lebih langsing. Industri ini lebih berhasil untuk mempergemuk dompet para pemegang sahamnya dibanding keberhasilannya membuat tubuh perempuan menjadi langsing.

Bagian tubuh perempuan yang menjadi sasaran industri berikutnya adalah kulit dan rambut. Jika kita melihat dan mengamati iklan-iklan yang muncul menyelingi sinetron-sinetron di televisi, sebagian besar diantaranya berupa iklan produk perawatan rambut dan kulit. Berbagai macam shampoo ditawarkan, dari yang mampu menghitamkan rambut sampai yang mampu mengusir ketombe asalkan dipakai setiap hari. Citra-citra yang dimunculkan adalah berbagai perempuan dengan model rambut lurus dan hitam pekat, yang kalau perlu tingkat kehitamannya dibantu dengan sentuhan efek visual. Seakan-akan bentuk rambut yang ideal bagi perempuan hanyalah yang hitam dan lurus panjang. Padahal dalam kenyataannya rambut wanita beraneka ragam, mulai dari yang tebal, tipis, ikal, lurus, keriting sampai yang berwarna agak kemerah-merahan. Begitu pula dengan citra kulit perempuan yang dibentuk oleh industri, pada pertengahan tahun 80-an sampai awal 90-an, kulit yang kuning langsat masih menjadi daya jual produk-produk kecantikan di Indonesia. Namun kini, seiring dengan munculnya banyak produk pemutih, citra yang mulai dikedepankan adalah perempuan yang berkulit putih bersih.

Karena berbagai pencitraan di media massa mengenai bentuk tubuh ideal seorang perempuan, banyak perempuan yang menjadi korban tanpa disadari. Pencitraan ukuran tubuh yang langsing cenderung ceking telah melipat gandakan kasus-kasus Anorexia dan Bulimia. Anorexia berarti kehilangan nafsu makan atau suatu sindrom yang membuat penderita menghindari keinginan untuk makan yang kemudian membuat dirinya berhasil menguasai dan mengatasi rasa lapar dan nafsu makannya sendiri. Penderita biasanya benar-benar ingin kurus sampai-sampai penderita merasa kedinginan, sulit tidur dan beberapa gangguan emosional lainnya. Sedangkan penderita Bulimia tetap makan dengan porsi yang wajar di depan publik, namun kemudian ia memuntahkan kembali makanan yang sudah dimakannya. Jika tidak, ia akan merasa tidak nyaman secara psikologis. Almarhum Putri Diana adalah salah satu contoh penderita penyakit ini.

Keinginan perempuan untuk memiliki kulit yang putihpun tidak luput dari bahaya. Di Indonesia, beberapa kosmetik pemutih kulit sampai harus dilarang oleh Departemen Kesehatan karena mengandung merkuri. Merkuri memang bisa membuat kulit menjadi lebih putih namun membawa efek samping yang berbahaya, bahkan dapat mengakibatkan kanker.

Secara spesifik, stereotip pencitraan perempuan dalam media masaa dapat dikategorikan dalam iklan sebagai citra pigura, citra pilar, citra pinggan, dan citra pergaulan. Walaupun citra semacam ini banyak ditemukan dalam iklan-iklan media cetak, namun citra tersebut juga terdapat pada iklan televisi dan hampir di semua media massa.

Dalam citra pigura, banyak iklan menekankan pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat dengan menegaskan sifat kewanitaannya secara biologis, seperti memiliki waktu menstruasi (iklan-iklan pembalut wanita), memiliki rambut yang hitam dan panjang serta lurus (iklan-iklan shampo), dan yang lainnya. Pencitraan perempuan dengan citra pigura semacam ini ditekankan lagi dengan menebarkan isu natural anomy bahwa umur perempuan, ketuaan perempuan sebagai momok yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan perempuan

Dalam citra pilar, perempuan digambarkan sebagai tulang punggung utama keluarga. Perempuan sederajat dengan laki-laki. Namun karena kodratnya berbeda dengan laki-laki, maka perempuan digambarkan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap rumah tangga. Secara lebih luas, perempuan memiliki tanggung jawab terhadap persoalan domestik. Ruang domestik perempuan digambarkan dengan tiga hal utama yaitu; yang pertama, “keapikan” fisik dari rumah suaminya (iklan Superpell); yang kedua, sebagai istri dan ibu yang baik dan bijaksana (iklan Pepsodent dan Susu Dancow). Dan yang ketiga, ibu sebagai guru dan sumber legitimasi bagi anaknya (iklan Dancow Madu)

Perempuan dalam ilan televisi juga digambarkan memiliki citra pinggan, yaitu perempuan tidak bisa melepaskan diri dari dapur karena dapur merupakan dunia perempuan (iklan Indomie dan Salam Mie). Terakhir pencitraan perempuan dengan memberi kesan bahwa perempuan memiliki citra pergaulan. Citra ini ditandai dengan adanya pergulatan perempuan untuk masuk ke dalam kelas-kelas tertentu yang lebih tinggi di masyarakatnya. Perempuan dilambangkan sebagai mahluk yang anggun dan menawan (iklan sabun Lux dan Sabun Giv) serta berhak “dimiliki” oleh kelas-kelas tertentu.

Pencitraan perempuan seperti diatas tidak sekedar dilihat sebagai obyek, namun juga sebagai subyek pergulatan perempuan dalam menempatkan dirinya di realitas sosial, walaupun tidak jarang perempuan lupa bahwa mereka telah dieksploitasi dalam dunia hiper-realitas (pseudo-reality), yaitu sebuah dunia yang hanya ada dalam media, dunia realitas yang dikonstruksi oleh media massa dan copywriter melalui kecanggihan telematika

Kaum wanita memang harus lebih hati-hati dalam menghadapi “serangan” dari media iklan ini. Jangan sampai wanita terjerumus kedalam “jurang” yang sengaja dibentuk oleh pihak-pihak yang berkuasa dalam masyarakat. Pahamilah bahwa kata cantik itu bukan hanya dilihat dari kulit putih dan mulus, tubuh langsing, atau rambut yang lurus, panjang, dan hitam. Kecantikan dari seorang wanita juga bisa ditampilkan dari kepribadiannya di dalam masyarakat, serta kemampuannya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di lingkungannya atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan inner beauty atau kecantikan dari dalam diri seorang wanita.

PERANAN TEKNOLOGI MEDIA DALAM PENYEBARAN PORNOGRAFI

Media massa memiliki kekuatan yang sangat dahsyat untuk mengkonstruksikan sebuah agenda setting yang oleh Mc Comb dan DL Shaw (1972) katakan apabila media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Kendati khalayak bukan “kotak kosong”, dalam arti khalayak dapat merespon sebuah agenda yang dibuat oleh media massa, namun pada kenyataannya bahwa media mampu mengkonstruksikan lebih banyak khalayak untuk percaya terhadap berita yang disiarkan oleh media.

Kekuatan-kekuatan konstruksi sosial media massa terhadap khalayak, sampai pada media mampu menciptakan sebuah realitas sosial yang oleh banyak ahli dinamakan relitas maya, serta mampu menghidupkan khalayak pada sebuah realitas yang dibangun berdasarkan kesadaran palsu (pseudo-reality). Jadi kekuatan konstruksi sosial media massa mampu melumpuhkan daya kritis khalayak, kemudian lebih banyak khalayak percaya bahwa media massa menjadi sumber otoritas.

Jadi persoalannya adalah ketika kemampuan media massa itu digunakan untuk mengkonstruksi erotisme, maka sudah dapat dibayangkan bahwa kekuatan konstruksi sosial media massa akan mampu membangun sebuah kesadaran palsu khalayak bahwa erotisme adalah sebuah kebenaran. Padahal sebenarnya dibalik kesadaran palsu itu, kemampuan media dengan berbagai kelebihan teknologi media termasuk juga adalah kelebihan ilmu perekayasaan media dan bahkan trik-trik kamera, telah menipu begitu banyak masyarakat untuk mempercayai kebenaran erotisme yang disajikan itu.

Kendati demikian, memberi penyadaran kepada masyarakat tentang bias media tersebut di atas, menjadi pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan, karena lepas dari kebohongan-kebohongan itu, khalayak telah percaya bahwa erotisme media mengandung banyak kebenaran, artinya ada obyek-obyek erotis tersebut yang mengandung kebenaran, sedangkan media merupakan alat memoles erotisme itu menjadi lebih indah, memiliki taste dan lebih berkesan. Karena itu layak erotisme media menjadi hiburan, penyalur libido, pelampiasan kebiasaan buruk, sampai pada hal-hal yang baik, yaitu pelepasan terhadap ekses-ekses buruk dari kekerasan seksual di masyarakat. Maka jadilah pornomedia sebagai wacana perdebatan yang sampai saat ini lebih banyak belum terjawab.

Sejalan dengan perdebatan mengenai pornomedia pada saat ini, berkembang tiga anggapan di masyarakat. Pertama menilai tayangan pornomedia tidak memberi inspirasi pada penontonnya untuk melakukan hubungan seks, namun cenderung memperkuat keinginan di dalam hati seseorang yang memang berniat melakukan hubungan seks. Kedua beranggapan bahwa pornomedia itu hanya berfungsi sebagai khatarsis (penyaluran emosi), artinya bahwa apabila ada dorongan seksual dalam diri seseorang begitu melihat tayangan pornomedia (juga mendengar dan membaca) di televisi atau film, maka akan tersalurkan keinginannya itu. Ketiga beranggapan bahwa pornomedia di televisi dan film sama sekali tidak berpengaruh buruk. Artinya banyak kasus menunjukkan bahwa pemirsa tidak meniru atau terpengaruh begitu saja tayangan-tayangan porno tersebut, akan tetapi peran lingkungan keluarga, latar belakang pendidikan dan agama sangat mempengaruhi seseorang. Sedangkan pornomedia yang ditonton di televisi, film dan media lainnya itu, hanyalah mempengaruhi mereka yang memiliki niat buruk dalam hatinya. Keempat, masyarakat menilai pornomedia adalah salah satu bentuk tayangan yang jelas-jelas dapat merusak moral masyarakat. Karena pornomedia mengeksploitasi perempuan, eksploitasi seksualitas untuk kepentingan kapitalis denagn mengorbankan moral masyarakat.

Salah satu model produksi media kapitalis yang dimaksud adalah selalu merefleksi dari realitas sosial yang sangat ekstrim di masyarakat. Ada tiga isu abadi dalam dunia jurnalisme kapitalis di Indonesia, yaitu harta, tahta dan wanita. Ketiga isu ini yang menjadi realitas sosial yang kemudian direkonstruksi secara bergantian menjadi realitas media, dan inilah substansi model produksi media massa kapitalis di Indonesia.

Dengan demikian dapat dimaklumi bahwa hal-hal yang berhubungan dengan wanita, seks, pornografi menjadi ladang eksplotasi pemberitaan media kapitalis, karena isu ini menjadi sangat menarik dan laku di masyarakat. Lepas dari itu, pendekatan agenda setting terhadap persoalan seksual ini seakan menjadi penting dalam masyarakat, padahal agenda media itu semata-mata untuk sekedar menjual pemberitaan dan mengangkat rating dan tiras media tersebut, dengan media menjadi ladang uang bagi sang penguasa kapital dalam jaringan media massa.

Berdasarkan anggapan-anggapan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa media massa baik elektronika maupun merupakan sebuah media yang efektif mendorong perubahan sikap seks di masyarkat. Yaitu semula masyarakat taat pada norma-norma perkawinan, kemudian secara bervariasi mulai meninggalkan norma-norma tersebut.

Mengutip dari apa yang pernah disampaikan oleh Alvin Toffler, bahwa selama abad industri, manajemen arus informasi antara lain menjadi perhatian utama, serta meta informasi menjadi kunci kendali di berbagai bidang. Revolusi informasi ini sangat erat kaitannya dengan demassifikasi ekonomi dan peningkatan diversifikasi masyarakat. Semakin terdiferensiasi ekonomi maka semakin banyak informasi yang dipertukarkan untuk mempertahankan integrasi sistem.

Setuju dengan yang dikatakan Toffler, bahwa pada saat ini peranan media massa sebagai media informasi dalam menyampaikan pesan-pesan perubahan masyarakat begitu sangat penting. Persoalannya bahwa yang dibawa oleh media massa, baik elektronik dan cetak, tidak saja bersifat positif namun juga negatif. Bahkan justru pesan-pesan positif kadangkala dimodifikasi menjadi negatif. Umpamanya saja konsultasi seks atau konsultasi masalah sosial lainnya yang menjasi rubrik-rubrik menarik di media massa. Seharusnya rubrik ini ditangkap secara positif oleh pembaca seperti diharapkan oleh pengasuh rubrik. Namun terbanyak rubrik tersebut digemari karena di sana banyak persoalan-persoalan seks yang dapat di-“nikmati”-nya, dari pada dijadikan pelajaran. Celakanya pada saat ini konsultasi-konsultasi semacam itu ada di hampir semua media massa kita, terutama media cetak yang notabene dapat dibaca berulang-ulang oleh pembaca dari berbagai kelompok umur, terutama pembaca yang berumur “rawan” untuk materi konsultasi tersebut.

Melihat banyak peminat tentang rubrik tersebut maka tak jarang pula para pengasuh rubrik lepas kontrol, sehingga pemilihan terhadap masalah yang boleh dimuat atau tidak dalam rubrik tersebut menjadi tidak selektif lagi, dengan kata lain “bebas sensor”. Lucunya rubrik itu menjadi tambahan menarik dan media massanya sendiri menjadi bertambah laris.

Media elektronik (visual) juga tidak sedikit peranannya dalam masalah ini. Dengan teknologi satelit, di mana masyarakat dapat menggunakannya untuk menerima berbagai siaran TV dari berbagai stasiun di dunia, maka kemungkinan peran media elektronika ini sangat besar sekali dalam menyampaikan pesan –pesan perubahan kepada masyarakat, termasuk di dalamnya adalah mengubah konsep seks normatif dan mendorong adanya pelecehan seks.

PERKEMBANGAN IKLAN-IKLAN PRODUK KECANTIKAN DI INDONESIA

Seperti yang banyak kita lihat bersama di televisi pada umumnya, iklan-iklan yang ditampilkan oleh stasiun-stasiun televisi swasta pada khususnya hampir 70% nya menampilkan iklan-iklan produk kecantikan wanita. Entah itu untuk kecantikan rambut seperti shampoo Pantene, Clear, Sunsilk, atau kecantikan wajah seperti Ponds, Avon, Ovale, Biore, atau juga kecantikan kulit seperti Viva, Vaseline, Nivea, Lulur Purbasari, Citra. Hal ini dikarenakan oleh perkembangan teknologi dan penemuan-penemuan terbaru yang berhasil menemukan alat-alat dan bahan-bahan yang diyakini dapat mempercantik kaum hawa.

Selain itu, dengan adanya kebebasan pers dalam mengekspos suatu objek membuat iklan-iklan di televisi pada khususnya dapat dengan mudah menampilkan objek-objeknya secara bebas asalkan tidak “terlalu jauh” keluar dari budaya timur. Iklan-iklan dapat dengan leluasanya menyuguhkan produk-produk kecantikan tanpa melihat fenomena sesungguhnya dari wanita Indonesia dalam masyarakat.

Iklan-iklan produk kecantikan yang dulu hanya berkutat pada kecantikan tubuh secara umum saat ini sudah berkembang menjadi tidak hanya kecantikan tubuh secara umum, melainkan terbagi menjadi beberapa bagian tubuh seperti wajah, kulit, rambut, tubuh, bahkan bagian yang sangat personal bagi seorang wanita yaitu payudaranya. Adanya ketidakpuasan dari kaum wanita atas apa yang sudah diberikan oleh media membuat iklan semakin gencar untuk menawarkan produk-produk kecantikannya yang lebih varian dengan promosi dapat merubah wanita menjadi “sempurna”.

Mulai mem-booming-nya iklan-iklan produk kecantikan terjadi pada awal tahun 90-an yang dipelopori oleh produk kecantikan Sariayu Martha Tilaar. Produk kecantikan ini sempat sangat terkenal pada pertengahan dan akhir tahun 90-an. Sariayu Martha Tilaar mencakup hampir semua unsur kecantikan pada seorang wanita. Mulai dari produk lulur, handbody, sabun mandi, shampoo, pelembab wajah, hingga pembersih wajah. Produk-produk dari Sariayu Martha Tilaar digunakan oleh wanita-wanita di Indonesia hampir pada semua lapisan masyarakat.

Akan tetapi, sejak mulai masuknya produk-produk kecantikan dari luar negeri pada akhir 90-an persaingan iklan-iklan produk kecantikan di Indonesia mulai terjadi. Dengan kehadiran produk-produk kecantikan dari luar negeri yang notabene promosinya lebih menarik dan didukung oleh teknologi-teknologi yang canggih membuat wanita-wanita di Indonesia menjadi bingung dalam menentukan pilihannya. Kemunculan Ponds, Vaseline, dan lain-lain membuat Sariayu Martha Tilaar agak menurun dalam jumlah penggunanya. Ini karena wanita-wanita Indonesia lebih memilih produk-produk kecantikan dari luar negeri yang dapat memberi efek yang lebih cepat. Seperti produk pemutih wajah dari Ponds yang dapat memutihkan wajah hanya dalam waktu 6 minggu.

Wanita di Indonesia tidak sadar bahwa sebenarnya mereka sedang ditipu oleh iklan-iklan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hampir semua iklan-iklan produk kecantikan dari luar negeri terutama produk pemutih wajah menggunakan model-model yang bukan wanita Indonesia. Ini disebabkan hampir tidak ada wanita Indonesia yang memenuhi kriteria untuk menjadi model dari iklan tersebut. Indonesia yang berada pada daerah beriklim tropis membuat rata-rata kulit masyarakat Indonesia berwarna kecoklatan atau kuning langsat. Wanita Indonesia kebanyakan kurang menyukai dengan kulit mereka yang berwarna tidak putih tadi. Dengan masuknya iklan-iklan pemutih kulit melalui televisi, maka berbondong-bondong kaum hawa di Indonesia menjajal produk tersebut.

Banyaknya artis-artis yang menjadi model bagi iklan-iklan produk kecantikan tersebut membuat mereka menjadi kiblat bagi kaum hawa di Indonesia. Apa saja atribut yang mereka pakai dianggap sebagai yang terbaik oleh para wanita di Indonesia. Telah dikemasnya para artis itu menjadi sebuah objek yang sempurna menurut media, menjadi alasan bagi wanita Indonesia untuk membuat diri mereka sama seperti artis-artis yang ada di layar kaca mereka.

Jangan heran pula, kalau wacana kecantikan seperti inilah yang akan mewarnai era baru seksploitasi media. Apalagi kini para protagonis dalam kebudayaan pop telah mulai memadukan dua dunia yang semula sangat diametral atau bertentangan dengan didukung media sebagai agennya. Yakni, di media mereka tidak hanya mempertontonkan mistifikasi tubuh secara vulgar, tapi juga mereka memadukan kekuatan kesakralan dan spiritualitas tubuh itu dengan keprofanan dan kebanalan budaya pop.

Tampaknya untuk tahun-tahun kedepan kita yang sedang menyaksikan televisi harus lebih banyak mengurut dada. Ini dikarenakan semakin berkembangnya teknologi maka semakin banyak pula lahir produk-produk kecantikan yang makin banyak ragamnya dan tentunya lebih “bebas”. Mungkin akan kita lihat munculnya produk kecantikan yang konsentrasinya pada tiap-tiap bagian tubuh wanita. Makin banyak pula wanita-wanita Indonesia yang menjadi korban media hanya untuk mencapai satu tujuan mereka yakni menjadi cantik seperti apa yang diperlihatkan oleh media iklan di televisi.

MANFAAT PENTING KAJIAN OPINI PUBLIK

Berdasarkan definisi yang dimuat dalam ensklopedia elektronik, wikipedia, yang dimaksud dengan opini publik adalah unsur-unsur dari pandangan, perspektif dan tanggapan masyarakat mengenai suatu kejadian, keadaan, dan desas-desus tentang peristiwa-peristiwa tertentu. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana kajian mengenai hal tersebut dapat muncul dan apa manfaat yang dimilikinya bagi kehidupan kita atau dengan kata lain mengapa opini publik menjadi suatu hal yang begitu penting.

Pertama, mengenai munculnya kajian opini publik. Kemunculan kajian opini publik, mencuat pada saat kita menyadari bahwa pandangan masyarakat amatlah penting dalam membuat suatu kebijakan, terutama yang menyangkut kebijakan massa atau kebijakan yang menyangkut kehidupan orang banyak. Sebagai contoh pada saat hendak memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pemerintah Indonesia tentu sebelumnya telah mengadakan berulang kali jajak pendapat untuk mengetahui hal-hal seperti : apa yang sebetulnya menjadi keinginan masyarakat ?, bagaimana reaksi masyarakat apabila kebijakan tersebut benar-benar diterapkan?, apabila negatif apakah alternatif kebijakan yang dapat dilaksanakan ?. Di negara kita, seperti halnya di negara lain, jajak pendapat publik tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan kepentingan publik timbul bersamaan dengan kemunculan demokrasi. Ini mungkin bukan hubungan yang kebetulan sifatnya, melainkan hubungan yang mencerminkan sifat demokrasi dan jajak pendapat publik itu sendiri. Menggali pendapat publik tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan publik-seperti siapa yang harus menjadi pejabat publik, kebijakan publik apa yang harus dibuat-merupakan pekerjaan yang sulit dilakukan dalam pemerintahan otokrasi. Dalam demokrasi, rezim merasa perlu tahu apa yang jadi preferensi warga negara. Tanpa mengetahuinya dengan baik, bagaimana pemerintah merespons preferensi mereka secara tepat, bagaimana mekanisme hubungan pemerintah dan rakyat dapat berjalan sebagaimana diharapkan demokrasi. Opini publik dapat digali lewat berbagai cara. Salah satu cara sistematis adalah lewat jajak pendapat umum. Namun, jelas opini publik tidak bisa direduksi ke dalam jajak itu. Bahkan, ada yang berpendapat, jajak pendapat bisa memberikan kesan menyesatkan tentang opini publik.

Kedua, mengenai pentingnya kajian opini publik. Sebagaimana telah disinggung sedikit pada bagian awal bahwa opini publik, amat berguna untuk membuat suatu kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan publik dalam kaitannya dengan pemerintahan demokrasi. Sebagai contoh Heith (1998), misalnya, menemukan bahwa sejak tahun 1960-an Gedung Putih menggunakan informasi dari hasil jajak pendapat publik untuk berbagai kepentingan lembaga tersebut. Studi Heith menunjukkan presiden dan staf senior Gedung Putih biasa menggunakan data hasil jajak. Secara lebih khusus, staf Gedung Putih yang terkait dengan pencarian dukungan publik bagi kebijakan yang akan dibuat presiden paling banyak bergantung pada hasil jajak pendapat publik. Yang membutuhkan dukungan publik itu, misalnya, adalah pengesahan undang-undang di Kongres dan upaya agar terpilih kembali dalam pemilihan presiden. Karena itu, Presiden AS biasa menghabiskan jutaan dollar setiap tahun untuk jajak pendapat yang memantau naik-turunnya sentimen publik terhadap presiden bersangkutan. Jajak ini biasa dilakukan partai mereka masing-masing . Heith juga melihat bahwa jajak pendapat publik telah jadi bagian integral lembaga kepresidenan di AS.

Secara umum ada hubungan signifikan antara opini publik yang digali lewat jajak dan kebijakan publik yang dibuat Pemerintah Amerika Serikat (AS). Heith secara sistematik menunjukkan opini publik yang digali lewat jajak memengaruhi secara berarti kebijakan publik yang dibuat Pemerintah AS. Bukan sebaliknya. Dalam politik kita, jajak pendapat mungkin belum banyak dijadikan alat membantu elite politik merumuskan kebijakan publik yang mendekati aspirasi publik. Masyarakat juga belum umum menggunakan hasil jajak pendapat mendesak pejabat publik membuat kebijakan sesuai dengan aspirasi mereka. Tidak sedikit politikus kita, ilmuwan sosial kita, dan mungkin juga anggota masyarakat biasa, yang tidak percaya pada hasil jajak pendapat yang belakangan mulai tumbuh di Tanah Air dan karena itu mengabaikannya. Ketidakpercayaan ini sebagian berasal dari tradisi jajak pendapat yang belum kuat dan tidak jarang jajak dilakukan dengan mengabaikan kaidah yang seharusnya, tetapi hasilnya sering dilaporkan media massa secara luas. Ini merugikan profesi jajak pendapat dan juga merugikan publik. Contohnya jajak pendapat yang dilakukan di sini adalah melalui SMS dan ditayangkan sejumlah teve, terutama menjelang pemilihan umum anggota legislatif. Jajak ini bukan saja didasarkan atas pemilik sarana SMS yang masih terbatas, tetapi juga didasarkan atas keinginan pemilik sarana tersebut untuk berpartisipasi. Di antara pemilik sarana SMS ini pun, hanya mereka yang punya gairah mengirim yang terjaring aspirasinya. Yang di luarnya tak terjaring. Partisipasi politik dengan menggunakan SMS secara sukarela sebenarnya bagus asal tidak dijadikan dasar memperkirakan dukungan pemilih terhadap partai, calon presiden, atau isu tertentu masyarakat Indonesia. Jajak semacam ini bisa menyesatkan publik tentang isu tertentu. Juga merugikan jajak itu sendiri sebagai alat menggali opini publik secara benar. Meski demikian, belakangan tayangan hasil jajak pendapat SMS di televisi tentang dukungan terhadap calon presiden makin berkurang sekarang. Barangkali karena pengalaman bahwa hasilnya sangat jauh menyimpang dari hasil pemilihan umum yang sebenarnya. Bila jajak dilakukan dengan benar sehingga menghasilkan informasi yang benar tentang opini publik, ia akan membantu membuat kebijakan publik sesuai dengan aspirasi publik itu. Bila pejabat publik tidak memerhatikan aspirasi publik ini, ia potensial jadi pejabat publik yang gagal. Kegagalan pejabat publik merespons preferensi publik akan menghambat penguatan demokrasi.

Dengan demikian kita telah melihat betapa pentingnya manfaat kajian mengenai opini publik. Hanya saja karena bidang kajian ini termasuk baru di negara kita sehingga kurang dapat membawa manfaat yang begitu berarti.

IKLAN COKLAT SILVER QUEEN TIDAK MENDIDIK BAGI ANAK MUDA

Televisi merupakan media yang sangat familiar bagi kita. Hampir setiap hari kita menghabiskan waktu di depan “kotak ajaib” itu. Seringkali kita menjadi lupa dengan pekerjaan atau urusan lain yang lebih penting diakibatkan keasyikan menonton televisi. Televisi menampilkan tayangan-tayangan yang dapat membuat kita terlena di dalamnya.

Iklan merupakan salah satu produk televisi yang sangat dapat mempengaruhi masyarakat yang menyaksikannya. Iklan-iklan yang ditampilkan ada yang dikemas dalam bentuk yang menarik sehingga mampu mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat. Tetapi ada juga iklan yang hanya sekedar dibuat tanpa memperhatikan kualitas sehingga malah mendapat kesan yang buruk dari masyarakat.

Salah satu iklan yang menurut saya tidak cocok untuk ditampilkan adalah iklan coklat Silver Queen. Hal yang membuat saya menganggap iklan tersebut tidak layak untuk dipublikasikan adalah bunyi sebagian dari lirik lagu yang mengiringi iklan tersebut. Bunyi lirik tersebut adalah “mumpung kita masih muda, santai saja.”

Bunyi lirik tersebut sangat tidak cocok untuk ditampilkan. Segmentasi iklan tersebut yang lebih kepada anak muda menambah ketidakpantasan lirik lagu dalam iklan tersebut untuk ditampilkan. Dengan bunyi lagu seperti itu, anak muda diajarkan untuk bersantai-santai dalam mengisi masa mudanya. Anak muda dikonstruk untuk mengisi masa mudanya dengan santai-santai sambil menikmati coklat Silver Queen.

Keadaan tersebut akan mempengaruhi kehidupan anak muda. Generasi masa depan ini akan hancur apabila hari-harinya hanya diisi dengan kegiatan bersantai-santai yang tidak jelas manfaatnya.

SEJARAH BIROKRASI DI INDONESIA

Sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem politik yang berlangsung. Baik dalam sistem politik sentralistik maupun sistem politik yang demokratis sekalipun, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan politik pemerintah. Dengan kata lain, birokrasi menjadi sulit untuk melepaskan diri dari jaring-jaring kepentingan politik praktis. Birokrasi yang seharusnya merupakan institusi pelaksana kebijakan politik, bergeser perannya menjadi instrumen politik yang terlibat dalam praktik politik praktis. Corak birokrasi yang menjadi partisan dari kepentingan politik praktis tersebut menyebabkan ciri birokrasi modern yang digagas oleh Max Webber tentang rasionalisme birokrasi sulit untuk diwujudkan. Birokrasi bahkn telh mengubah dirinya bagaikan “monster raksasa” yang mengerikan sebagai perwujudan nyata dari kekuasaan negara .

Dalam membahas mengenai sejarah birokrasi di Indonesia, penulis membaginya ke dalam tiga konteks waktu, yakni birokrasi masa kerajaan, birokrasi masa kolonial, dan birokrasi pada masa orde baru.

Pertama adalah birokrasi masa kerajaan. Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuatan tunggal dan absolut. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus tunduk dan patuh pada kehendak sang raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (1) penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi; (2) administrasi adalah perluasan rumah tangga istananya; (3) tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;(4) “gaji” dari raja kepada pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugrah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja; dan (5) para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja.

Kedua adalah birokrasi masa kolonial. Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan administrasi pemerintahan yang berlaku di Indonesia. Sistem birokrasi pemerintahan yang dikembangkan pemerintah kolonial justru sepenuhnya ditujukan untuk mendukung semakin berkembangnya pola paternalistik yang telah menjiwai sistem birokrasi di era kerajaan. Pemerintah kolonial memiliki kebijakan untuk tidak begitu saja menghapus sistem ketatanegaraan yang telah ada sebelumnya. Sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah bumi Nusantara, baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial sepenuhnya menyadari bahwa keberadaannya tidak selalu aman. Pemerintah kolonial kemudian menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat. Motif utama pemerintah kolonial menjalin hubungan politik adalah dalam rangka berupaya menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan.

Yang terakhir adalah birokrasi masa Orde Baru. Berakhirnya masa pemerintahan kolonialisme di Indonesia membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan-perbedaan pandangan yang terjadi di antara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintah. Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi negara federal atau negara serikat berdasarkan konstitusi RIS pada tahun 1950 melahirkan kondisi dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis yang dihadapi aparat birokrasi saat itu. Pertama, bagaimana menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan Republik Indonesia, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada pemerintah Belanda yang memiliki keahlian tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap negara Republik Indonesia.

PERMASALAHAN BIROKRASI DI INDONESIA

Birokrasi (negara dan pemerintah) tempat aparatur bekerja selalu diartikan dengan makna yang buruk, khususnya di Indonesia. Prinsip birokrasi yang diterapkan di Indonesia, seharusnya ideal dengan apa yang dicetuskan oleh Weber. Sebagai bangsa yang merdeka dan penuh optimisme, kita semua harus mencita-citakan terciptanya suatu birokrasi yang bersih dan berwibawa. Namun demikian, kita menghadapi masalah-masalah perihal birokrasi dan kebangsaan sebagaimana dikemukakan oleh Amien Rais.

Menurutnya, hampir semua negara berkembang menghadapi masalah nepotisme yang melekat dalam birokrasi, ini merupakan satu masalah besar dan rumit. Bahwa dalam dasawarsa setelah 1998 kita akan menghadapi lima persoalan besar dalam kerangka roda pemerintahan birokrasi, yaitu:

  1. Demokratisasi;

  2. Pembentukan pemerintah yang bersih / clean government;

  3. Penegakan keadilan sosial;

  4. Pembangunan SDM dan;

  5. Penguatan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Kelima masalah besar tersebut sangat ditentukan oleh sejauh mana pemerintah bersama dengan masyarakat menangani berbagai masalah tersebut. Adapun ujung tombak dari proses ini adalah peningkatan peranan pemerintah yang mulai menegakkan demokratisasi, pemerintahan yang bersih, menegakkan keadilan sosial, meningkatkan dan mengembangkan SDM, serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka optimalisasi dan revitalisasi birokrasi.

Jika kita berasumsi bahwa aparatur negara dan pemerintah menjadi ujung tombak dan pembaharu terhadap lima masalah pokok itu, kuncinya adalah, kita harus meningkatkan kualitas SDM aparatur kita, agar mampu melaksanakan tugasnya dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih (clean government). Namun salah satu persoalan yang kita hadapi adalah bahwa dalam tubuh pemerintahan kita pun belum bersih benar. Menurut Amien Rais, korupsi dalam artian yang luas masih tetap merajalela, bila bukannya semakin lepas kendali.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa dalam birokrasi kita sudah dicap korup dan bertele-tele. Bahkan kita sendiri sudah kerap mengalami kejadian yang kurang mengenakkan ketika harus berhadapan dengan aparatur birokrasi. Yang perlu ditekankan, adalah menjamurnya korupsi di tubuh birokrasi.

Terkait dengan ini, ada tiga jenis korupsi, yaitu korupsi ekstortif, manipulatif dan nepotistik. Korupsi ekstortif terjadi ketika seseorang, karena dorongan situasi, terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi (perlindungan) atas hak-hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha terpaksa memberikan sogokan (bribery) pada pejabat tertentu agar mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usahanya, dan celakanya lagi, perlindungan terhadap pelanggaran yang dilakukannya. Jumlah sogokan itu, tentu tergantung dari skala usaha penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah.

Korupsi manipulatif, yaitu usaha kotor yang dilakuakn seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Sebagai misal, seorang atau sekelompok konglomerat memberi sesuatu pada bupati agar peraturan-peraturan yang dibuat dapat menguntungkan mereka. Bahwa kemudian peraturan-peraturan yang keluar akan merugikan rakyat banyak, tentu bukan urusan koruptor-koruptor tersebut.

Korupsi nepotistik, adalah tindakan memberikan perlakuan yang istimewa pada anak-anak, isteri, keponakan, saudara dekat dari para birokrat (pejabat) dalam setiap eselon. Dengan preferential treatment itu pada anak, saudara, kerabat, dan seterusnya agar pejabat itu dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Korupsi nepotistik pada umumnya berjalan dengan melanggar aturan-aturan yang ada. Namun pelanggaran-pelanggaran itu tidak dapat dihentikan karena di belakang korupsi nepolistik itu berdiri seorang pejabat yang biasanya merasa kebal hukum.

Di samping tiga jenis korupsi itu masih ada jenis korupsi lagi yaitu, korupsi subversif. Ini merupakan bentuk pencurian terhadap kekayaan negara. Korupsi ini dilakukan oleh para pejabat. Dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan, mereka dapat membobol kekayaan negara yang seharusnya diselamatkan.

Semua jenis korupsi tersebut dalam berbagai derajat dan skala terdapat dalam praktek birokrasi pemerintahan mana pun, termasuk di Indonesia. Jika berbagai bentuk korupsi tersebut terus terjadi, hal ini akan semakin memperburuk citra birokrasi.

Namun kenyataannya fenomena korupsi, pungli, suap, dan sejenisnya sulit dihilangkan dari kultur birokrasi itu sendiri. Sehingga untuk menghilangkan atau setidaknya mempersempit ruang gerak para koruptor, setidaknya harus ada upaya evaluasi komprehensif dari pemerintah terkait dengan membangun kembali birokrasi yang lebih baik.

Adapula faktor lain yang terkait dengan buruknya kinerja birokrasi kita, yaitu ketiadaan upaya membangun komunikasi impersonalitas yang baik dalam organisasi. Suatu hubungan impersonalitas dalam organisasi akan efektif dan efisien manakala semua aparatur dalam setiap unit kerja, menjalin komunikasi yang baik dan terus berkelanjutan. Artinya, melaksanakan komunikasi antara dua orang pribadi atau lebih yang berbeda kepribadian, bahkan latar belakang budayanya. Manakala komunikasi demikian telah dilakukan, setiap aparatur negara telah melaksanakan tugas dan fungsinya, sekaligus menaati sumpah dan janjinya untuk tidak mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan di atas kepentingan umum.

Perilaku feodalistik dalam birokrasi yang dilestarikan oleh pemerintah kolonial ikut memberikan kontribusi besar terhadap penyebab munculnya patologi birokrasi, terutama tindak korupsi di dalam birokrasi. Suburnya budaya pemberian uang pelicin, uang semir, uang suap, uang damai, atau praktik budaya pelayanan tahu sama tahu, pada dasarnya merupakan bentuk korupsi yang terus dikembangkan oleh birokrasi dan masyarakat. Publik untuk memperoleh akses pelayanan secara mudah harus memberikan biaya ekstra kepada pejabat birokrasi, demikian pula untuk mendapat memenangkan perkara di pengadilan, seseorang harus menyuap jaksa dan hakim, atau seorang yang melanggar peraturan lalu lintas dengan mudah menyuap petugas kepolisian agar kasusnya tidak dibawa ke pengadilan. Substansi dari persoalan korupsi dalam birokrasi pada dasarnya merupakan bagian dari feodalisme yang terus dipelihara oleh sistem birokrasi. Seorang bawahan misalnya, untuk memperoleh perhatian, kedudukan, jabatan, dan kesan baik di mata pimpinannya akan berupaya untuk menyenangkan hati pimpinan dengan cara pemberian parsel, cinderamata, uang, dan segala sesuatu yang menjadi kesenangan pimpinannya.

Faktor kultural dalam masyarakat Indonesia pada umumnya cenderung kondusif yntuk mendorong terjadinya korupsi, seperti adanya nilai atau tradisi pemberian hadiah terhadap pejabat pemerintah.tindakan tersebut bagi masyarakat Eropa atau Amerika dianggap sebagai tindak korupsi, tetapi bagi masyarakat di Asia seperti di Indonesia, Korea Selatan, atau Thailand dianggap bukan merupakan tindak korupsi. Bahkan dalam kultur Jawa, pemberian tersebut dianggap sebagai bentuk pemenuhan kewajiban oleh bawahan kepada rajanya. Akar kultural pada masyarakat Indonesia yang nepotis juga telh memberikan dorongan bagi terjadinya tindak korupsi. Masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya sangat mementingkan ikatan keluarga dan kesetiaan parokial. Kewajiban utama seorang individu yang pertama adalah memerhatikan saudara terdekat, kemudian keluarga besar, satu keturunan, dan sesama etniknya. Seorng pejabat yang mendapat desakan dari saudaranya untuk memberikan dispensasi atau kemudahan akses pelayanan akan sangat sulit untuk menolaknya. Penolakan dapat diartikan sebagai pengingkaran terhadap kewajiban tradisional.

Sentralisme birokrasi telah membentuk pola pemerintahan yang bersifat hierarkis-birokratis sehingga terkesan sangat kaku dan menjadi tidak responsif terhadap tuntutan perkembangan dalam masyarakat. Birokrasi menjadi institusi yang seolah-olah tidak mampu mendengar dan melihat serta memperhatikan aspirasi masyarakat, bahkan terkesan mengabaikan kepentingan masyarakat. Birokrasi seolah-olah menjadi kekuatan besar, tanpa ada kekuatan lain yang mampu mengontrolnya. Sentralisme birokrasi telah menyebabkan birokrasi menempatkan publik berada di bawah, bukannya ditempatkan sebagai mitra bagi birokrasi yang terus dikembangkan keberadaannya dalam rangka pencapaian good governance dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sentralisme birokrasi telah menyebabkan birokrasi terjebak dalam pengembangan kultur organisasi yang lebih berorientasi vertikal daripada kultur horizontal yang lebih berorientasi pada kepentingan publik. Sentralisme dalam birokrasi telah menyebabkan terjadinya patologi dalam bentuk berbagai tindak penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan birokrasi. Patologi birokrasi muncul karena norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi lebih berorientasi ke atas, yaitu pada kepentingan politik kekuasaan, bukannya kepada publik. Berbagai kebijakan pembangunan pemerintah yang selalu ditentukan oleh pemerintah pusat menunjukkan kuatnya budaya sentralisme dalam birokrasi. Kondisi tersebut mengakibatkan birokrasi semakin kurang sensitif terhadap nilai, aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat. Birokrasi menjadi kurang fleksibel sehingga kebijakan yang diterapkan kurang responsif terhadap kondisi masyarakat daerah yang memiliki masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang bersifat spesifik.

Bentuk kekuasaan yang sentralistik menimbulkan adanya kultur birokrasi yang kaku dan berkembangnya fenomena suka atau tidak suka dalam birokrasi. Birokrasi tidak mampu mengembangkan sistem kerja fleksibel, bahkan birokrasi tidak mampu mengembangkan semangat kerja sama dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintah dan pelayanan publik. Koordinasi menjadi suatu kegiatan yang sangat sulit dilakukan birokrasi apabila kegiatan pelayanan publik yang dilakukan melibatkan lintas bidang, seksi, instansi, atau departemen. Lemahnya pembentukan semangat kerja sama dalam birokrasi menyebabkan seorang aparat birokrasi tidak dapat atau enggan mengerjakan pekerjaannya di luar tugas rutinnya. Apabila terdapat pegawai yang tidak masuk kerja karena berhalangan, pegawai lain tidak dapat menggantikannya sehingga kemacetan pelayanan seringkali terjadi. Dampak dari kondisi tersebut adalah masyarakat pengguna jasa pula yang pada akhirnya banyak dirugikan.

DAMPAK PERIKLANAN LINTAS NEGARA

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa banyak buruh di dunia yang memprotes kebijakan-kebijakan WTO yang tidak memperhatikan nasib para buruh. Pada akhir 1990-an, WTO menjadi target protes oleh gerakan anti-globalisasi. WTO memiliki berbagai kesepakatan perdagangan yang telah dibuat, namun kesepakatan tersebut sebenarnya bukanlah kesepakatan yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan kesepakatan tersebut adalah pemaksaan kehendak oleh WTO kepada negara-negara untuk tunduk kepada keputusan-keputusan yang dibuat oleh WTO. Privatisasi pada prinsip WTO memegang peranan yang sangat penting. Privatisasi berada di top list dalam tujuan WTO. Privatisasi yang didukung oleh WTO akan membuat peraturan-peraturan pemerintah sulit untuk mengaturnya. WTO membuat sebuah peraturan secara global sehingga penerapan peraturan-peraturan tersebut di setiap negara belum tentulah cocok. Meskipun peraturan tersebut dirasa tidak cocok bagi negara tersebut, negara itu harus tetap mematuhinya. Jika tidak, negara tersebut dapat terkena sanksi ekonomi oleh WTO.

Bila kita melihat dampak globalisasi media pada tata sosial masyarakat dunia, maka dapat ditemukan garis positif atau konstruktif serta garis negatif atau destruktif. Garis positif atau lebih tepat akibat konstruktif fenomena globalisasi media massa di dunia adalah perubahan sosial politik yang meliputi keterbukaan, penonjolan tiga isu global (demokratisasi, hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup) termasuk juga kebebasan pers sebagai bagian integral sistem komunikasi sosial masyarakat. Sementara itu, garis negatif dalam arti dampak buruk dari globalisasi media dapat dilihat dari fenomena masyarakat yang semakin konsumeristis, apatis, individualistis dan sebagainya. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa globalisasi media massa juga memicu kerusakan etika atau moral kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Periklanan lintas budaya juga memiliki dampak langsung yang beragam pada masyarakat dunia. Dengan masuknya periklanan-periklanan dari suatu negara ke negara lainnya dapat memperluas jaringan komunikasi dan bisnis dari produk yang ditawarkan oleh iklan tersebut. Produk yang ditawarkan ole iklan tersebut dapat diketahui oleh dunia internasional dan secara langsung maupun tidak akan menambah keuntungan bagi produk tersebut.

Selain dampak yang menyenangkan tadi juga ada dampak negatif bagi dunia internasional. Yang pertama adalah gejala periklanan lintas negara membuka kondisi dunia yang borderless world. Kondisi dunia tanpa batas ini mengakibatkan apa yang sering disebut dengan penyeragaman secara global dalam sistem, pola dan budaya komunikasi dunia. Masalahnya terjadi paradoks yang muncul di dalam gejala ini, yaitu ketika dunia dan globalisme memicu penyeragaman cara, sistem komunikasi umat manusia, di situ juga terjadi budaya tanding dalam bentuk tren nasionalisme, primordialisme, lokalisme kebudayaan.

Dampak negatif dari periklanan lintas negara yang kedua adalah globalisasi media massa semakin memperlebar jurang perbedaan atau kepincangan arus informasi yang terjadi antara negara-negara maju di satu pihak dengan negara-negara berkembang, seperti Indonesia, di lain pihak. Kehadiran suatu media terutama di Indonesia bisa menjadi indikator yang kuat terbentuknya sistem sosial yang terbuka dan demokratis. Tapi kehadiran media global di dalam media Indonesia juga menimbulkan masalah. Seperti pada karakter pembentukan media massa di negara berkembang pada umumnya, secara luas dapat kita sistem kepemilikan, pola produksi dan kebijakan internal yang tidak bisa dipisahkan dengan sistem kepemilikan, pola produksi dan industri media di negara-negara maju. Inilah yang pada akhirnya akan membuat kepincangan arus informasi yang didominasi oleh media global.

Untuk menanggulangi hal-hal tersebut, perlu diadakannya kerja sama antara institusi internasional di bidang ekonomi keuangan seperti IMF dan Bank Dunia serta institusi perdagangan internasional seperti WTO dan NAFTA. Institusi-institusi tersebut harus memfasilitasi negara-negara berkembang untuk membangun negerinya sendiri serta memperhatikan keadaan negaranegara tersebut agar program yang dijalankan di negara tersebut dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan negara tersebut.

Contoh kasus yang berkaitan dengan hal ini adalah kasus iklan produk parfum Axe versi koin. Dalam iklan tersebut ditampilkan seorang pria yang menyemprot parfum Axe pada koinnya kemudian koin tersebut di lemparkan ke dalam kolam. Wangi parfum tersebut disukai oleh seorang wanita yang kemudian rela menceburkan dirinya ke kolam untuk mencari koin tersebut. Melihat hal tersebut, sang pria tadi kemudian menyemprotkan parfum Axe ke seluruh tubuhnya dengan harapan dapat dipeluk oleh wanita tadi.

Iklan tersebut apabila ditampilkan di Amerika Serikat sebagai tempat asal pembuatannya tidak akan ada masalah. Namun apabila iklan tersebut berubah menjadi lintas negara dan ditayangkan di berbagai dunia mungkin ada yang kurang sesuai. Di beberapa negara yang memiliki kebudayaan yang berbeda menganggap iklan tersebut tidak sesuai untik ditayangkan di negara itu.

Analisis Fenomena Globalisasi dari Film Dokumenter The Rulers Of The World dengan Menggunakan Teori Critical Structuralist

Apabila negara dunia pertama adalah negara yang memiliki modal dan menguasai teknologi tetapi miskin sumber daya alam, sedangkan negara dunia ketiga adalah negara yang memiliki sumber daya alam tetapi tidak memiliki modal dan teknologi, maka akan terjadi pengintegrasian dari perekonomian nasional menjadi sebuah sistem ekonomi global yang dilakukan oleh negara dunia pertama. Aliran modal, teknologi, tenaga kerja hingga komoditas akan bebas bergerak melampaui batas negara. Pergerakan itu disebut sebagai sebuah proses dari globalisasi.

Korporasi media dalam masa globalisasi saat ini sangat berpengaruh bagi perkembangan dunia. Adapun latar belakang dari pendekatan studi tentang korporasi media adalah berakhirnya perang dingin, berkembangnya kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal, serta percepatan pertumbuhan dan diseminasi teknologi komunikasi dan informasi yang berbasis digital. Pendekatan korporasi media bisa dilihat dari pendekatan horizontal dan pendekatan vertikal. Di dalam pendekatan vertikal inilah terdapat dua analisis atau pandangan mengenai globalisasi yakni liberal market place dan critical structuralist.

Dalam pandangan liberal market place, globalisasi dianggap sebagai perubahan yang akan membawa ke arah yang lebih baik. Kapitalisme modern dan demokrasi liberal dianggap sebagai perubahan yg diinginkan oleh semua masyarakat dunia. Pandangan ini berpendapat bahwa ketika cara berpikir lama mulai ditentang dan digantikan oleh institusi-institusi modern, masyarakat dunia ketiga akan dapat berpikir secara rasional dan bebas dalam mengekspresikan diri mereka seperti yang terlihat di negara-negara maju.

Sementara itu dalam analisis critical structuralist, globalisasi dianggap sebagai suatu proses perubahan yang dapat menghancurkan dunia. Globalisasi dapat memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Perusahaan swasta memiliki keuntungan besar dengan menggunakan tenaga kerja atau buruh-buruh yang dibayar dengan harga murah. Pendidikan, pengalaman hidup, peraturan pemerintah, dan tingkat teknologi akan membentuk bagaimana individu berfikir dan berperilaku.

Dalam film dokumenter karya John Pilger ini digambarkan bagaimana globaliasasi digambarkan mulai dari ia pertama kali menancapkan kukunya di Indonesia. Awalnya, mereka membantu menggulingkan sebuah pemerintahan yang pro-rakyat. Dan mendukung sebuah kekuasaan korup dan menghamba modal. Lebih dari satu juta jiwa dikorbankan pada medio Oktober 1965. Kerjasama apik juga dibangun dengan media-media nomor wahid di muka bumi ini. Waktu itu, tak satupun media yang menulisnya sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan. Tapi, sebagai peristiwa demi keuntungan ekonomi barat. Time menulis, “Balas dendam dengan senyuman”. Media lain menulis, “Seberkas cahaya redup di Asia”.
Istilah 'globalisasi' mungkin tidak terlalu asing lagi buat kita sekarang. Hampir setiap hari istilah itu kita baca atau dengar di media massa maupun percakapan sesama teman. Sayangnya dalam media massa istilah itu tidak pernah dijelaskan tuntas. Yang kita tahu hanya bahwa globalisasi itu di satu sisi positif bagi pengusaha dan pedagang karena memberi kesempatan masuk ke wilayah manapun di dunia. Di sisi lain globalisasi juga dilihat sebagai tantangan yang menuntut persaingan lebih tajam di antara pengusaha. Di tingkat internasional, pemimpin-pemimpin negara bertemu, seperti pertemuan APEC di Bogor tahun 1994, mengatur segala hal yang berkaitan dengan pembukaan negara masing-masing terhadap barang dagangan dan investasi dari negara lain. Di wilayah lain tegadi pertemuan serupa yang diberi nama AFTA (untuk Asia Tenggara), NAFTA (untuk Wilayah Lautan Atlantik bagian utara). Sementara itu sejak tahun 1970-an sudah berlangsung perundingan yang diberi nama GATT, yang akhirnya pada tahun 1995 menjadi WTO (World Trade Organisation atau Organisasi Perdagangan Dunia).

Dalam perundingan, kesepakatan dan organisasi itu semua hal yang berkaitan dengan penanaman modal dan perdagangan internasional, paling tidak yang menyangkut kepentingan para pengusaha dan pedagangnya. Kepentingan buruh juga dibicarakan serba sedikit, di sana-sini, tapi bukan untuk membela kepentingan buruh itu sendiri. Sebaliknya, masalah buruh sering dibicarakan oleh negara-negara maju untuk menekan negara Dunia Ketiga agar mengikuti skenario yang mereka atur. Hal ini pernah terjadi di Indonesia, saat Amerika Serikat mengancam akan memberhentikan fasilitas GSP bagi Indonesia jika tidak menghormati hak-hak buruh untuk berorganisasi.1) Banyak aktivis perburuhan dart berbagai kalangan 'termakan' oleh 'sikap baik' pemerintah Amerika Serikat, yang mereka pikir benar-benar membela kepentingan buruh. Nyatanya, 'sikap baik' itu hanya ada jika Amerika Serikat sedang punya persoalan dengan kebijaksanaan dagang yang tidak menguntungkan bagi mereka.

Di film ini ditampilkan para buruh yang harus berkerja lebih dari 24 jam per hari dengan bayaran hanya Rp. 8000 per hari. Di film ini mengungkapkan betapa serakahnya perusahaan-perusahaan swasta besar seperti Nike dan GAP yang memperkerjakan buruh murah tapi meraup keuntungan yang sangat besar. Mereka tidak memperdulikan sama sekali nasib dan kehidupan para buruh mereka.

Sejak tahun 1990 kita mencatat gelombang pemogokan yang makin besar di seluruh Indonesia. Sekarang ini pemogokan sudah bukan barang aneh bagi buruh di Indonesia. Hampir setiap hari ada berita di media massa tentang buruh mogok di berbagai pabrik dan daerah. Tuntutan umumnya kenaikan upah dan kesejahteraan. Ada beberapa yang bahkan menuntut perubahan politik yang lebih menjamin kehidupan buruh. Pemerintah bilang bahwa gelombang pemogokan ini terjadi karena ada 'pihak ketiga' yang menunggangi tapi pengalaman kita mengatakan bahwa pemogokan itu terjadi karena buruh-buruhnya sudah tidak puas dengan keadaan mereka, baik dari segi upah maupun kesejahteraan secara umum. Di sisi lain terjadi juga protes di kalangan petani, dan sektor-sektor masyarakat lainnya, yang umumnya memprotes pemerintah karena kebijaksanaannya atau bahkan menuntut agar pemerintah menyediakan penghidupan yang lebih baik.

Dari penjelasan di atas kita lihat bahwa tenaga kerja adalah unsur penting dalam pembangunan industri. Para perencana pembangunan, baik dari dalam negeri maupun lembaga-lembaga ekonomi seperti IMF dan World Bank yang didominasi Amerika Serikat sadar betul akan kenyataan itu. Mereka juga yang 'membantu' menyusun konsep industrialisasi berorientasi ekspor yang mengandalkan buruh murah dan sedikit bahan mentah. Memang secara statistik, strategi industrialisasi untuk ekspor ini menghasilkan pertumbuhan yang mengesankan, tapi pertumbuhan itu dibangun dengan menekan buruh sedemikian rupa secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi, upah buruh ditentukan sepihak oleh pemerintah berdasarkan standar-standar tanpa melibatkan buruh. Berdatangannya orang dalam jumlah besar ke kota-kota (urbanisasi) juga menghasilkan wilayah pemukiman yang tidak teratur dan jauh dari standar kesejahteraan. Sebagian kita mungkin terima jadi saja. Tapi perlu diingat bahwa keadaan itu sebenarnya terjadi karena adanya proses globalisasi yang didukung oleh politik pemerintah. Karena tidak adanya akses buruh ke meja perundingan ekonomi internasional, regional, nasional, lokal maupun tingkat pabrik, maka masalah-masalah itu terbengkalai begitu saja. Perhatian dari pengusaha maupun pemerintah baru ada kalau protes sudah terjadi, dan korban sudah berjatuhan. Semua ini punya akibat yang serius bagi buruh yang menjadi tulang punggung industrialisasi ini.

ANALISIS KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DALAM FILM CRASH

Setelah melihat film Crash, saya dapat melihat sebuah film yang menampilkan pola interaksi dari kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam film ini, ditampilkan beberapa kisah hidup manusia di kota New York yang merupakan kota yang penduduknya sangat multikultural. Kisah-kisah tersebut memiliki persamaan yakni berkisah tentang perang persepsi dan stereotip antara budaya satu dengan budaya lainnya.

Hal yang akan saya jelaskan terlebih dahulu di sini adalah menerangkan secara singkat apa yang dimaksud dengan persepsi dan stereotip. Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses itu mempengaruhi perilaku kita. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antar individu, maka semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi, dan sebagai konsekuensinya semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas.

Sementara itu, stereotip merupakan persepsi atau kepercayaan yang kita anut mengenai kelompok-kelompok atau individu-individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk. Kelompok disini mencakup kelompok ras, kelompok etnik, kaum tua, bentuk pekerjaan dan profesi, atau orang dengan penampilan fisik tertentu.

Disini saya akan mencoba menampilkan persoalan-persoalan yang terkait dengan interaksi yang terjadi antar dua kebudayaan dalam film Crash. Ada persepsi di kalangan penduduk Amerika bahwa masyarakat Arab merupakan teroris atau paling tidak masyarakat Islam fundamentalis. Terkadang ada rasa ketakutan berlebih jika warga Amerika Serikat bertemu dengan masyarakat Arab. Namun hal ini justru menjadi rumit ketika persepsi tadi dilakukan secara berlebihan. Seperti salah satu kisah di film ini bahwa masyarakat Amerika Serikat dengan tanpa perhitungan merusak sebuah toko yang diduga milik warga Arab dikarenakan pemilik toko tersebut memiliki wajah khas Arab meskipun yang sebenarnya pemilik toko tersebut adalah warga Persia yang notabene berbeda baik secara kultur maupun geografis dengan Arab.

Hal yang sama terjadi pada persepsi masyarakat Amerika Serikat berkulit putih terhadap warga kulit hitam. Mereka menganggap warga kulit hitam merupakan orang-orang kriminal, tak beretika, dan tak memiliki nilai dan norma. Ada rasa takut dalam diri warga kulit putih ketika mereka bertemu dengan warga kulit hitam. Terkadang juga, ada rasa cemburu dalam diri warga kulit putih ketika mereka melihat ada warga kulit hitam yang menduduki jabatan penting dalam masyarakat.

Dalam masyarakat di kota besar seperti New York, jumlah warga kulit putih lebih banyak dibandingkan dengan warga kulit hitam. Warga kulit hitam justru merasa bahwa merekalah yang seharusnya merasa takut dengan keadaan ini. Tidak jarang ada warga kulit putih yang melakukan pelecehan terhadap warga kulit hitam. Dalam film Crash terdapat contohnya. Ada adegan yang menampilkan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang petugas kepolisian yang berkulit putih terhadap warga kulit hitam. Warga kulit hitam tersebut tidak memiliki kekuatan untuk melawan karena mereka berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Juga seringkali pengaduan atau pendapat mereka tidak ditanggapi secara serius oleh lembaga-lembaga pengaduan seperti kepolisian. Hal ini mengakibatkan warga kulit hitam yang merasa dilecehkan oleh warga kulit putih menjadi enggan untuk melaporkannya. Dalam film Crash juga ditampilkan fenomena ini.

Ada juga stereotip di masyarakat Amerika Serikat khususnya bahwa orang Meksiko terkenal pemalas dan kurang ahli dalam segala hal. Masyarakat juga mempersepsikan orang-orang yang memiliki wajah latin sebagai orang Meksiko. Padahal belum tentu orang yang memiliki wajah latin adalah orang Meksiko. Dalam film Crash juga terjadi kesalahan ini. Seorang wanita yang memiliki wajah latin dianggap sebagai orang Meksiko disertai dengan embel-embel pemalas dan kurang telaten. Justru sebenarnya wanita itu merupakan campuran dari Puerto Rico dan El Salvador.

Stereotip yang muncul dari penampilan juga terdapat dalam masyarakat. Ada masyarakat yang menganggap seseorang yang berpenampilan kepala plontos, menggunakan kaos kutang, bertato, serta memiliki wajah sedikit latin adalah seorang residivis atau paling tidak seorang kriminal. Rasa takut terkadang muncul ketika seseorang harus berhadapan dengan orang-orang yang memiliki penampilan seperti ini. Padahal belum tentu orang yang seperti ini memiliki perangai seperti itu. Atau bisa juga kemungkinan orang seperti ini ingin keluar dari dunia hitamnya dan menggapai hidup baru di masyarakat. Seperti yang ditampilkan dalam film Crash. Stereotip yang dipakai seorang wanita terhadap seorang tukang kunci yang memiliki penampilan yang sudah digambarkan diatas menimbulkan rasa takut pada diri wanita itu. Padahal sebenarnya tukang kunci tersebut berusaha keluar dari dunianya yang dulu yang penuh kriminal dan berusaha hidup dalam dunia baru yang jauh dari dunia kriminal dengan menjadi tukang kunci.

Ada juga stereotip yang diberikan kepada seorang pembantu rumah tangga. Seorang pembantu rumah tangga dianggap hanya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga tanpa memiliki kepandaian selain di bidang itu. Suatu hal yang dianggap biasa apabila seseorang memarahi seorang pembantu rumah tangga atau sekedar membentaknya. Ada jurang yang terpisah lebar antara seorang majikan dan pembantunya. Dalam film Crash hal ini juga ditampilkan. Bagaimana seorang wanita menganggap remeh pembantunya dengan selalu merasa kurang puas atas pekerjaan pembantunya. Walaupun pembantunya tersebut sudah menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik, selalu saja sang majikan mencari-cari kesalahan pembantunya itu.

Stereotip terhadap masyarakat Asia juga ditampilkan dalam film ini. Masyarakat Amerika khususnya masih menganggap masyarakat Asia sebagai bangsa asing yang sangat jauh berbeda kultur maupun bahasa dengan kebudayaan mereka. Mereka menganggap masyarakat Asia terutama warga Cina hanya memiliki kemampun dan keahlian dalam hal masak-memasak. Diluar itu mereka hampir dianggap tidak memiliki kemampuan apa-apa termasuk tidak mampu memakai bahasa Inggris.

Dari persoalan-persoalan yang muncul diatas, maka saya bisa menarik kesimpulan. Permasalahan akan muncul ketika dalam melakukan komunikasi lintas budaya antara seorang individu dengan individu lainnya masih tertanam stereotip-stereotip atau persepsi yang belum tentu benar. Jika individu satu yang memiliki sebuah kebudayaan melakukan proses komunikasi dengan individu lainnya yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan menggunakan stereotip-stereotip dan persepsi tadi maka segala reaksi yang diberikan akan dibatasi oleh pagar-pagar stereotip tersebut.

Dapat dilihat bahwa komunikasi lintas budaya memiliki nilai penting. Dalam komunikasi lintas budaya, persepsi dan stereotip memegang peranan yang sangat penting. Persepsi dan stereotip yang dilabeli kepada seseorang yang berasal dari budaya tertentu mempengaruhi sikap dan perilaku komunikasi kita terhadap orang tersebut. Persepsi dan stereotip yang diberikan kepada seseorang yang berasal dari kebudayaan yang berbeda dengan kita seringkali tidak sesuai dengan realita yang sebenarnya.

Untuk mencapai sebuah komunikasi efektif dalam komunikasi lintas budaya, sebisa mungkin kita mengesampingkan stereotip-stereotip yang ada pada seseorang dari budaya lain. Hal ini dikarenakan pada umumnya stereotip yang sudah ada bersifat negatif. Tentu saja akan menjadi permasalahan yang besar apabila kita masih terpaku pada stereotip-stereotip tersebut dalam berkomunikasi dengan orang-orang dari budaya lain.