Minggu, 21 September 2008

Analisis Fenomena Globalisasi dari Film Dokumenter The Rulers Of The World dengan Menggunakan Teori Critical Structuralist

Apabila negara dunia pertama adalah negara yang memiliki modal dan menguasai teknologi tetapi miskin sumber daya alam, sedangkan negara dunia ketiga adalah negara yang memiliki sumber daya alam tetapi tidak memiliki modal dan teknologi, maka akan terjadi pengintegrasian dari perekonomian nasional menjadi sebuah sistem ekonomi global yang dilakukan oleh negara dunia pertama. Aliran modal, teknologi, tenaga kerja hingga komoditas akan bebas bergerak melampaui batas negara. Pergerakan itu disebut sebagai sebuah proses dari globalisasi.

Korporasi media dalam masa globalisasi saat ini sangat berpengaruh bagi perkembangan dunia. Adapun latar belakang dari pendekatan studi tentang korporasi media adalah berakhirnya perang dingin, berkembangnya kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal, serta percepatan pertumbuhan dan diseminasi teknologi komunikasi dan informasi yang berbasis digital. Pendekatan korporasi media bisa dilihat dari pendekatan horizontal dan pendekatan vertikal. Di dalam pendekatan vertikal inilah terdapat dua analisis atau pandangan mengenai globalisasi yakni liberal market place dan critical structuralist.

Dalam pandangan liberal market place, globalisasi dianggap sebagai perubahan yang akan membawa ke arah yang lebih baik. Kapitalisme modern dan demokrasi liberal dianggap sebagai perubahan yg diinginkan oleh semua masyarakat dunia. Pandangan ini berpendapat bahwa ketika cara berpikir lama mulai ditentang dan digantikan oleh institusi-institusi modern, masyarakat dunia ketiga akan dapat berpikir secara rasional dan bebas dalam mengekspresikan diri mereka seperti yang terlihat di negara-negara maju.

Sementara itu dalam analisis critical structuralist, globalisasi dianggap sebagai suatu proses perubahan yang dapat menghancurkan dunia. Globalisasi dapat memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Perusahaan swasta memiliki keuntungan besar dengan menggunakan tenaga kerja atau buruh-buruh yang dibayar dengan harga murah. Pendidikan, pengalaman hidup, peraturan pemerintah, dan tingkat teknologi akan membentuk bagaimana individu berfikir dan berperilaku.

Dalam film dokumenter karya John Pilger ini digambarkan bagaimana globaliasasi digambarkan mulai dari ia pertama kali menancapkan kukunya di Indonesia. Awalnya, mereka membantu menggulingkan sebuah pemerintahan yang pro-rakyat. Dan mendukung sebuah kekuasaan korup dan menghamba modal. Lebih dari satu juta jiwa dikorbankan pada medio Oktober 1965. Kerjasama apik juga dibangun dengan media-media nomor wahid di muka bumi ini. Waktu itu, tak satupun media yang menulisnya sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan. Tapi, sebagai peristiwa demi keuntungan ekonomi barat. Time menulis, “Balas dendam dengan senyuman”. Media lain menulis, “Seberkas cahaya redup di Asia”.
Istilah 'globalisasi' mungkin tidak terlalu asing lagi buat kita sekarang. Hampir setiap hari istilah itu kita baca atau dengar di media massa maupun percakapan sesama teman. Sayangnya dalam media massa istilah itu tidak pernah dijelaskan tuntas. Yang kita tahu hanya bahwa globalisasi itu di satu sisi positif bagi pengusaha dan pedagang karena memberi kesempatan masuk ke wilayah manapun di dunia. Di sisi lain globalisasi juga dilihat sebagai tantangan yang menuntut persaingan lebih tajam di antara pengusaha. Di tingkat internasional, pemimpin-pemimpin negara bertemu, seperti pertemuan APEC di Bogor tahun 1994, mengatur segala hal yang berkaitan dengan pembukaan negara masing-masing terhadap barang dagangan dan investasi dari negara lain. Di wilayah lain tegadi pertemuan serupa yang diberi nama AFTA (untuk Asia Tenggara), NAFTA (untuk Wilayah Lautan Atlantik bagian utara). Sementara itu sejak tahun 1970-an sudah berlangsung perundingan yang diberi nama GATT, yang akhirnya pada tahun 1995 menjadi WTO (World Trade Organisation atau Organisasi Perdagangan Dunia).

Dalam perundingan, kesepakatan dan organisasi itu semua hal yang berkaitan dengan penanaman modal dan perdagangan internasional, paling tidak yang menyangkut kepentingan para pengusaha dan pedagangnya. Kepentingan buruh juga dibicarakan serba sedikit, di sana-sini, tapi bukan untuk membela kepentingan buruh itu sendiri. Sebaliknya, masalah buruh sering dibicarakan oleh negara-negara maju untuk menekan negara Dunia Ketiga agar mengikuti skenario yang mereka atur. Hal ini pernah terjadi di Indonesia, saat Amerika Serikat mengancam akan memberhentikan fasilitas GSP bagi Indonesia jika tidak menghormati hak-hak buruh untuk berorganisasi.1) Banyak aktivis perburuhan dart berbagai kalangan 'termakan' oleh 'sikap baik' pemerintah Amerika Serikat, yang mereka pikir benar-benar membela kepentingan buruh. Nyatanya, 'sikap baik' itu hanya ada jika Amerika Serikat sedang punya persoalan dengan kebijaksanaan dagang yang tidak menguntungkan bagi mereka.

Di film ini ditampilkan para buruh yang harus berkerja lebih dari 24 jam per hari dengan bayaran hanya Rp. 8000 per hari. Di film ini mengungkapkan betapa serakahnya perusahaan-perusahaan swasta besar seperti Nike dan GAP yang memperkerjakan buruh murah tapi meraup keuntungan yang sangat besar. Mereka tidak memperdulikan sama sekali nasib dan kehidupan para buruh mereka.

Sejak tahun 1990 kita mencatat gelombang pemogokan yang makin besar di seluruh Indonesia. Sekarang ini pemogokan sudah bukan barang aneh bagi buruh di Indonesia. Hampir setiap hari ada berita di media massa tentang buruh mogok di berbagai pabrik dan daerah. Tuntutan umumnya kenaikan upah dan kesejahteraan. Ada beberapa yang bahkan menuntut perubahan politik yang lebih menjamin kehidupan buruh. Pemerintah bilang bahwa gelombang pemogokan ini terjadi karena ada 'pihak ketiga' yang menunggangi tapi pengalaman kita mengatakan bahwa pemogokan itu terjadi karena buruh-buruhnya sudah tidak puas dengan keadaan mereka, baik dari segi upah maupun kesejahteraan secara umum. Di sisi lain terjadi juga protes di kalangan petani, dan sektor-sektor masyarakat lainnya, yang umumnya memprotes pemerintah karena kebijaksanaannya atau bahkan menuntut agar pemerintah menyediakan penghidupan yang lebih baik.

Dari penjelasan di atas kita lihat bahwa tenaga kerja adalah unsur penting dalam pembangunan industri. Para perencana pembangunan, baik dari dalam negeri maupun lembaga-lembaga ekonomi seperti IMF dan World Bank yang didominasi Amerika Serikat sadar betul akan kenyataan itu. Mereka juga yang 'membantu' menyusun konsep industrialisasi berorientasi ekspor yang mengandalkan buruh murah dan sedikit bahan mentah. Memang secara statistik, strategi industrialisasi untuk ekspor ini menghasilkan pertumbuhan yang mengesankan, tapi pertumbuhan itu dibangun dengan menekan buruh sedemikian rupa secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi, upah buruh ditentukan sepihak oleh pemerintah berdasarkan standar-standar tanpa melibatkan buruh. Berdatangannya orang dalam jumlah besar ke kota-kota (urbanisasi) juga menghasilkan wilayah pemukiman yang tidak teratur dan jauh dari standar kesejahteraan. Sebagian kita mungkin terima jadi saja. Tapi perlu diingat bahwa keadaan itu sebenarnya terjadi karena adanya proses globalisasi yang didukung oleh politik pemerintah. Karena tidak adanya akses buruh ke meja perundingan ekonomi internasional, regional, nasional, lokal maupun tingkat pabrik, maka masalah-masalah itu terbengkalai begitu saja. Perhatian dari pengusaha maupun pemerintah baru ada kalau protes sudah terjadi, dan korban sudah berjatuhan. Semua ini punya akibat yang serius bagi buruh yang menjadi tulang punggung industrialisasi ini.

Tidak ada komentar: